Antara Hasduk dan Scarf : Dilema tanda pengenal  

Posted by Ayub Wahyudi in

Ketika saya ikut KMD beberapa bulan yang lalu, saya ditegur seorang pelatih karena menggunakan hasduk ketika berbaju biasa. Awalnya saya merasa tidak terima dikarena saya sudah lumrah melakukan hal tersebut. Saya pun berbincang dengan pelatih tersebut dan dia mengatakan bahwa tindakan saya melanggar Jukran. Pada saat itu, setahu saya tidak ada jukran yang melarang hal tersebut dan ketika saya tanya jukran yang mana, dia menjawab Jukran 174/2012 tentang seragam anggota pramuka. Saya pun segera membaca ulang jukran tersebut karena takut saya salah tetapi setelah saya baca kembali dengan seksama, saya tetap tidak menemukan adanya larangan tentang penggunaan hasduk diluar seragam pramuka. Kemudian saya berpikir ulang, pelatih tidak mungkin salah, mungkin dia hanya salah sebut jukran. Saya lalu tersadar, bahwa hasduk adalah tanda pengenal dan seharusnya di atur di Jukran 055/1982 tentang tanda pengenal dan barulah saya temukan pada : 
Bab IV, Pt. 16.a : Tanda Pengenal Gerakan Pramuka hanya dibenarkan dikenakan pada pakaian seragam Pramuka, dan tidak dibenarkan pada pakaian lainnya (Misalnya pada pakaian sekolah, pakaian seragam organisasi lain, dan sebagainya) kecuali Tanda Harian Gerakan Pramuka.
Tanda Harian Gerakan Pramuka
Oke, pelatih benar dan saya salah. tapi saya tetap bingung maka dari itu saya bertanya-tanya. Alasan saya menggunakan hasduk diluar seragam pramuka adalah sebagai tanda dan Hasduk adalah tanda pengenal umum jadi seharusnya wajar saja kalo saya menggunakan saat tidak menggunakan seragam pramuka, terus kenapa dilarang?

Kemudian ada yang mengatakan kalau sekarang kita boleh menggunakan scarf dua warna (warna bebas) seperti teman-teman dipandu untuk menggantikan hasduk dengan syarat ujungnya harus disimpul kemenangan.

Saya pun mencoba menelusuri perihal scarf ini dan ternyata benar sudah lama digunakan. akan tetapi ada beberapa hal yang mengganjal saya terhadap penggunaan scarf :
  1. Tidak memiliki jukran atau minimal masuk dalam jukran tanda pengenal. Kalau tidak masuk Jukran seharusnya gak boleh disebut sebagai pengganti Hasduk sebagai tanda pengenal
  2. Penggunaan dan pemilihan warna diatur oleh adat, oke...tapi buat anggota dewasa di atur oleh apa.
  3. Ada scarf yang paling sering digunakan oleh orang dewasa yaitu scarf pola hasduk terbalik dengan lambang garuda tetapi setelah saya tanya mengenai scarf tersebut kepada salah satu andalan kwarnas orbakum, dia berkata bahwa scarf tersebut hanya digunakan setelah kegiatan jambore international dan setelah itu tidak boleh lagi digunakan.
  4. Ini yang lebih mengganjal, Scarf yang tidak memiliki dasar lebih dianggap dari tanda harian yang sudah ditentukan oleh Jukran.
Kesimpulannya, setiap anggota pramuka membutuhakan tanda pengenal. Dalam kasus saya, saya akan butuh tanda tersebut jika sedang berkegiatan pramuka tetapi sedang tidak menggunakan seragam pramuka, Untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu kepada saya, paling tidak masyarakat sekitar akan tahu siapa saya.

Pramuka & Cermin Diri  

Posted by Ayub Wahyudi in

Pertanyaan yang sulit ketika menjadi pramuka diumur hampir kepala tiga adalah "masih pramuka?". Pertanyaan sederhana yang hanya bisa dijawab "iya" tetapi mengutakkan isi kepala. Pertanyaan tersebut seakan menjadi cermin diri, seakan-akan mempertanyakan hasil dari saya berpramuka sejak SD kelas 5.

Dalam Kepramukaan, Pramuka itu adalah anak yang terdaftar dan berumur antara 6 - 25 tahun. Sederhananya adalah lebih dari 25 Tahun tidak bisa lagi disebut pramuka. Mereka yang berada diatas 25 tahun disebut sebagai orang dewasa dan berhak memilik apakah akan kembali ke masyarakat atau menjadi anggota dewasa digerakan pramuka atau lebih dikenal dengan sebutan pembina dengan cara menunjukkan SHB (Surat Hak Bina) - catatan samping : sudah banyak yang menjadi pembina tanpa SHB, saya juga.

Ketika saya lulus sebagai pramuka sejak dua tahun lalu karena telah menyelesaikan umur, saya memutuskan untuk menjadi pembina. Keputusan itu saya ambil karena berharap bisa berguna buat gugusdepan saya dan juga buat mereka butuh pembina pramuka. Hanya saja tidak ada yang berhasil saya bina dengan baik, entah karena pihak sekolah menganggap bahwa saya tidak cocok jadi pembina atau harus memilih antara niat baik dengan kebutuhan dasar hidup. Maklum saja, pembina pramuka bagi saya adalah bentuk tanggungjawab pribadi bukan sebagai mata pencaharian.

Banyak pihak sekolah yang melihat saya sebagai pembina yang tidak berkualitas karena belum pernah KMD atau belum bersertifikasi. Banyak juga yang beranggapan bahwa saya tidak memiliki jiwa pembina. Saya hanya tersenyum kecut mendengarnya.

Beberapa waktu yang lalu, saya akhirnya bisa mengikuti KMD (Kursus Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar/Kursu Mahir Dasar) tapi kesedihan saya bertambah. Ada dua penyebabnya :
  1. Ilmu yang ada di KMD adalah apa yang telah saya praktekkan terus kenapa saya dianggap tidak berkualitas
  2. Lulus KMD tapi tidak bisa ikut Narakarya 1 karena Gudep tempat saya membina berstatus persiapan alias tidak punya nomor gudep atau belum terdaftar.
kondisi ini membuat saya tersenyu kecut sekian kalinya. Seolah menjadi cermin diri bagi perkembangan pribadi. Saya tetap percaya bahwa niat baik pasti ada jalan tetapi kemudian menunggu jalannya muncul adalah pertarungan batin yang sangat seru.

jadi jika ada yang bertanya "masih pramuka?" saya hanya bisa menjawab "ya"

n.b:
ini adalah sesi curhat dan tidak dimaksudkan untuk siapapun kecuali diri sendiri.

Budaya Tradisi Harus Lestari Karena Globalisasi Cuma Mitos Belaka  

Posted by Ayub Wahyudi in


Budaya Tradisi Harus Lestari Karena Globalisasi Cuma Mitos Belaka[1]

            Saat ini masyarakat Indonesia, baik yang muda maupun yang tua, selalu direcoki dengan keberadaan globalisasi. Semua yang terjadi, dan seringnya dianggap negatif, selalu menjadikan globalisasi menjadi sesuatu yang harus dan wajib dipersalahkan. Termasuk dalam perubahan budaya tradisis masyarakat di Indonesia. penulis bisa menjelaskan mulai dari para generasi muda masyarakat Indonesia. Gaya hidup mereka yang terlalu kebarat-baratan, atau istilah sekarangnya terlalu kekorea-koreaan, sering medapat kritik pedas dari para generasi tua, dan tidak jarang juga dari para sesama generasi muda yang merasa tidak terkena dampak globalisasi. Hal diatas adalah sebuah ke-unyu[2]-an yang galau[3]. Karena pada dasarnya globalisasi tidak bisa dicegah.
            Mencegah globalisasi berarti berusaha mencegah proses sintesis yang terjadi secara alamiah. Tidak hanya itu, mereka yang tidak mendukung globalisasi hanya akan memperlihatkan diri mereka sebagai manusia naïf, bodoh dan radikal. Naif karena menganggap globalisasi sedang tidak terjadi, bodoh karena memahami globalisasi terlalu dangkal dan radikal karena mencegah globalisasi dengan menutup diri dari perkembangan zaman yang juga sudah pasti akan terjadi diseluruh belahan dunia. Dengan kata lain, kenapa kita harus bersusah payah mencegah sesuatu yang pasti terjadi.
            Globalisasi dalam sisi kebudayaan, telah terjadi sejak pertemuan antar dua budaya—yang diklaim oleh para ahli sejarah disebabkan oleh perdagangan—dan pada akhirnya menyebabkan suatu masyarakat mengenal budaya lain selain budaya mereka sendiri. Meskipun globalisasi selalu merujuk pada dominasi ekonomi, Pada dasarnya kekhawatiran tanpa dasar selalu terjadi pada dominasi budaya. Hal tersebut juga tidak dapat disangkal terlalu jauh karena melihat fakta depan mata hal tersebut sedang terjadi tapi apakah itu sesuatu yang buruk bagi budaya kita?. Iya jika kita menggangap bahwa globalisasi itu ada tapi jika kita menganggap bahwa globalisasi itu sebenarnya hanya mitos[4], maka lain lagi ceritanya.
            Cohcrane dan Pain (Cochrane & Pain, 2004) menegaskan bahwa ada tiga jenis pendekatan teoritits yang mencoba menjelaskan posisi globalisasi. Dua diantaranya paling dominan, Globalis dan Tradisionalis, dan yang satu, Transformasionalis, dianggap berada pada tahapan yang berbeda.
1.      Para globalis adalah mereka yang percaya bahwa globalisasi itu ada dan memiliki dampak yang dapat memungkin kan terjadi dominasi budaya. hal ini pada akhirnya membuat pendekatan ini tepecah menjadi dua, yaitu:
a.       Para globalis positif beranggapan bahwa dampak dari globalisasi seharusnya dapat diterima karena globalisasi telah terjadi. Dengan terjadinya globalisasi maka akan tercipta masyarakat global yang mempunyai nilai toleransi yang mapan dan dewasa.
b.      Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi membawa dampak dominasi sehingga dianggap merusak. Maka dari itu dampak globalisasi harusnya dicegah untuk mengurangi dominasi yang terjadi sebagai dampak dari globalisasi
2.      Para tradisionalis hanya beranggapan bahwa globalisasi adalah tahap lanjutan dari dampak perkembangan ekonomi, teknologi dan budaya. sehingga globalisasi itu hanya mitos.
3.      Para transformasionalis berada ditengah dua pendekatan tidak menolak dan juga tidak menerima sepenuhnya. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.

Penjelasan diatas sangat sederhana namun tepat akan tetapi masih menyisakan perdebatan besar yang tidak akan pernah selesai. Khususnya pada masalah budaya. Jika memang globalisasi ada maka bisa dipastikan budaya tradisi Indonesia terancam akan tetapi kita juga tidak bisa menafikan keberadaannya karena dampaknya telah ada, apalagi berusaha mengambil posisi aman hal tersebut tidaklah etis apalagi dengan penjelasan sederhana. Namun pada dasarnya globalisasi memanglah sebuah mitos, akan tetapi bukan yang seperti para Tradisionalis ungkapkan. Mitos yang dimaksud bukanlah sebagai sesuatu yang tidak dapat dijelaskan tapi mitos justru dapat dijelaskan karena kita akan berkutat pada sistem makna.
            Menurut Roland Barthes, Mitos adalah system tanda dengan makna konotatif yang terbentuk pada tataran kedua dan merupakan asosiasi dari penanda yang menjadi tanda dengan makna denotative pada tataran pertama dan petanda baru[5]. Secara sederhana mitos dalam teori semiotika Barthes menjelaskan bahwa makna globalisasi telah bergeser sebanyak dua kali sehingga makna sesungguhnya telah hilang sepenuhnya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa pada akhirnya pandangan teoritis di atas tetap menjadi perdebatan besar hingga sekarang. Semua karena kita memperdebatkan sesuatu pada makna yang tidak seharusnya. Jika memang globalisasi adalah sebuah mitos yang menyebabkan perdebatan tanpa akhir maka tidak ada jalan kembali kecuali mengganggapnya demikian. Menjawab permasalahan tersebut, penulis menawarkan konsep Glokalisasi sebagai jawaban dari perdebatan tentang globalisasi itu sendiri. Hal ini juga nantinya merujuk pada jawaban mengapa budaya tradisi harus lestari.
            Glokalisasi adalah konsep yang dimaknai secara sederhana sebagai sebuah penggabungan antara ide global dan pertimbangan lokal. Dengan kata lain, konsep-konsep budaya global pada akhirnya harus berhadapan dengan pertimbangan nilai-nilai budaya lokal sehingga konsep-konsep budaya global tidak lagi dianggap momok menyeramkan bagi nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia. Ide global pada akhirnya menghadapi tiga pilihan, diterima sepenuhnya, diterima dan termodifikasi dan ditolak dengan mentah. Penulis dapat memberikan dua buah ilustrasi tentang Glokalisasi di Indonesia dalam bidang budaya.
1.      Musik Metal di Indonesia[6]
Indoensia merupakan Negara muslim terbesar di dunia sehingga nilai-nilai islam sangat melekat kuat pada masyarakatnya. Hal inilah yang menjadi filter bagi musik metal yang dikenal musik pemberontak atas segala aturan sehingga membentuk aliran musik metal baru, yaitu metal satu jari. Aliran ini pada akhirnya hanya mengambil semangat musik metal saja sambil tetap menjaga keimanan terhadap TYME.
2.      Hip-Hop di Indonesia
Pada tahun 2003, sebuah grup musik bergenre hip-hop berdiri yang dikenal dengan nama Jogja HipHop Foundation (JHP). Seperti yang kita ketahui bersama bahwa musik hip-hop adalah budaya global yang berasal dari Amerika Serikat. Para artis yang bergenre ini dikenal dengan gaya hidupnya yang bebas, seperti narkoba dan free sex. Akan tetapi JHP berhasil melakukan modifikasi terhadap musik hiphop yaitu dengan cara menjadikan musik hiphop sebagai ide untuk memberikan bingkisan cantik dalam menyampaikan nilai-nilai lokal pada masyarakat Jogjakarta pada khususnya.

Dua ilustrasi diatas memberikan penegasan bahwa globalisasi itu memang ada, akan tetapi keberadaanya menjadi sebuah mitos yang dikenal dengan istilah Glokalisasi sehingga kita tidak perlu menegasikan keberadaan globalisasi apalagi takut terhadap dampaknya. Dengan demikian perdebatan telah selesai. Dan ternyata globalisasi sebagai mitos tidaklah terlalu buruk bagi budaya kita.
            Akan tetapi, dengan memahami bahwa Glokalisasi adalah pergesakan antara ide global dan pertimbangan lokal maka kita dapat mengetahui jawaban mengapa budaya tradisi harus dilestarikan. Hal tersebut dikarenaka didalam budaya tradisi terdapat nilai-nilai lokal yang nantinya dapat menjadi filter terhadap ide global yang dikhawatirkan dapat menciptakan dominasi budaya dan menghapuskan budaya masyarakat Indoensia. Budaya tradisi merupakan kunci utama dalam menghadapi mitos globalisasi dan dampaknya. Tanpa adanya budaya tradisi maka kita, pada akhirnya, hanya akan mampu melihat budaya kita terdominasi oleh arus glabalisasi yang memang tidak akan pernah berhenti.

Sumber Referensi:

1.      Cochrane, A., & Pain, K. (2004). A Globalizing Society? (D. Held, Ed.) London and New York: Routledge.



[1] Diikutkan dalam “Lomba Menulis: Mengapa Budaya Tradisi Harus Lestari” Oleh Pujastungkara Agung pada 6 Oktober 2012.
[2] Lucu
[3] Tidak jelas, cemas, bingung
[4] Mitos yang dimaksudkan oleh penulis bukan berarti sesuatu yang tidak ada.

kita butuh kita  

Posted by Ayub Wahyudi in

Aku butuh kamu, itu yang aku butuh.
tapi itu egois, kata kamu.
kita butuh kita.
aku berkata kita butuh kita.
kamu berkata tidak butuh apa-apa.

maka dengan begitu, aku bukan apa-apa buat kamu.
kamu diam.
kamu berkata, aku juga harus tidak butuh kamu.
kita butuh kita.

Seru Nalar  

Posted by Ayub Wahyudi in

tidak kitab tetnang kamu bisa melihat jiwa dan ruh manusia.
belajarlah dengan membuka indra agar hati dapat menyeru ke nalar...
"inilah yang terbaik"

maka disinilah aku, menuntut mata dengan belajar jadi buta.
rela menukar lihat maya dengan nyata.
agar daapt menjadi lebih baik dimata mereka.
sesungguhnya, kamu yang mengerti pasti akan dicintai...
itulah harapanku.
sekarang dan selamanya.