Globalisasi Metal: Distribusi Identitas  

Posted by Ayub Wahyudi in


Globalisasi Metal: Distribusi Identitas1
Oleh
Ayub Wahyudi2

Heavy metal emerged on the global music scene at the very moment that a global economic restructuring began that would increase poverty and inequality, especially for working class people in the industrial cities of the West and then across the so-called Third World.” (LeVine, 2009, p. 9)

Pendahuluan
Hingga saat ini musik hard rock atau lebih dikenal dengan metal telah menjadi fenomena global yang menjamur diseluruh dunia. Fenomena ini terjadi sebagai sebuah dampak globalisasi. Pemahaman dasar globalisasi adalah ketika dua wilayah saling bertukar pengetahuan atau wawasan. Akan tetapi, globalisasi tidak sesederhana itu dan tidak berhenti pada tatanan globalisasi. Music metal telah membuktikan bagaimana mereka terbawa globalisasi dengan mudah tapi justru tidak mudah untuk diterima oleh budaya lain, ketika akan menampilkan identitasnya. Masuk atau tidaknya sebuah budaya pada suatu wilayah, dalam hal ini negara, ditentukan oleh negosiasi budaya yang terjadi diantara kedua budaya. Dan pada umumnya, pendatanglah yang harus mengalah.
Negosiasi budaya yang harus dihadapi metal dalam konteks globalisasi adalah sensor. Pada umumnya, setiap negara mempunyai sensor sendiri terhadap sebuah konsep yang masuk ke dalam negara tersebut. Tidak hanya menghadapi sensor dalam pemahaman regulasi pemerintah, akan tetapi sensor yang berasal dari regulasi budaya, sosial dan politik. Negosiasi budaya hanya akan menghasilkan dua keputusan, yaitu: ditolak atau diterima bersyarat. Meskipun metal akan selalu menjadi perwakilan mereka yang tertindas dengan “teriakan” keras dari musik, lirik dan pertunjukannya namun hal tersebut hanya berlaku pada politik. Budaya akan tetap menjadi lawan yang tangguh buat musik metal. Hal terbukti dengan muncul sub-culture metal yang berbeda-beda pada setiap negara. Salah satu buktinya dapat kita lihat terdokumentasikan dengan baik pada sebuah film yang berjudul “Global Metal” karya Sean Dunn. Disini terlihat bahwa negaosiasi budaya, bisa membuat metal menghilangkan citra pemuja setannya.
Sub-Culture Metal
Dalam film dokumnter Sean Dunn tersebut (Dunn, 2007), banyak sekali contoh-contoh yang kita lihat tentang bagaimana musik metal menghadapi negosiasi budaya, bagaimana mereka masuk dan apa yang terjadi setelah itu.
  • Brazil, Rio de Jeneiro
Musik metal di Brazil dianggap sebagai identitas demokrasi. Kita mungkin akan sedikit berdecam, bagaimana sebuah negara yang terkenal dengan samba dan sepak bolanya. Bisa mempunyai lingkungan metal yang nyaman. Hal ini terjadi karena kemunculan music metal bersamaan dengan bebasnya Brazil dari kediktatoran pada tahun 1985. Sejak saat itu, metal mulai dianggap sebagai identitas yang setara dengan demokrasi. Bahkan sebuah band metal yang bernama “Sepultura” berhasil menjadikan diri mereka sebagai sebuah bukti identitas kolektif seperti pada yang terjadi pada samba dan sepak bola.
  • Jepang, Tokyo
Jepang adalah negara yang berhasil membuat metal tidak lagi memiliki makna sebagai sebuah ungkapan perjuangan atas sistem yang tidak adil. Para penggemar metal di Jepang hanya menganggap musik metal sebagai sebuah budaya barat yang “keren” yang menjadi hiburan mereka dari kehidupan yang sibuk bekerja. Metal hanya salah satu jenis kegiatan yang memicu adrenalin sehingga hidup mereka tidak terlalu membosankan dan siap untuk bekerja lagi.
Salah satu band ternama yang berhasil meninggalkan kesan di Jepang adalah kelompok Band KISS. Di kebudayaan jepang, ada sebuah seni peran yang disebut “Kabuki” dimana pemainnya menghiasi wajah mereka untuk memberikan keterangan tentang peran yang mereka ambil masing-masing. Entah secara kebetulan atau tidak, Band KISS ternyata telah melakukan hal serupa sejak awal pertunjukan mereka sebagai identitas, yaitu mewarnai wajah tiap personil mereka dan hampir dengan seni “kabuki”. Intertektualitas inilah yang membuat KISS menjadi kenangan bagi para penggemar metal.
  • India, Mumbai
India terkenal sebagai negara Bollywood, atau penghasil box office versi India. Akan tetapi remajanya tidaklah terlalu senang. Mereka menganggap hal tersebut terlalu lembek dan tidak cocok karena hanya berisi tarian dan nyanyian. Mereka juga beranggapan bahwa Bollywood merepresentasikan kehidupan ketat yang mereka alami. Pemuda India harus berhadapan dengan budaya feodalisme, dimana ucapan orang tua adalah kewajiban yang harus dituruti meskipun hal itu tidak membuat kita senang. Disinilah metal menjalankan peran mereka sebagai protes atas budaya tersebut. Para pemuda beranggapan kalau metal adalah bentuk protes yang mirip dengan gerakan Ahimsa-nya Mahatma Gandhi.
  • Cina, Beijing
Cina mengalami nasib yang sama dengan India dan juga menganggap bahwa metal adalah bentuk protes. Akan tetapi, berbeda dengan India, Cina hasrus berhadapan dengan ideologi negara, yaitu campuran confuciusme dan komunisme. Kedua ideologi ini membuat Cina mejadi tertutup sejak revolusi budaya. Baru, pada 1992, musik modern sudah bisa masuk, termasuk metal.
Akibat revolusi kebudayaan yang terjadi di Cina. Identitas budaya Cina yang lama mulai ditinggalkan. Hal tersebut terlihat di awal masuknya metal. Seperti biasanya, identitas umum pemain Band Metal adalah rambut panjangnya. Mereka mencemooh para personil band. Mereka tidak sadar bahwa sebelum revolusi kebudayaan, identitas budaya seorang pria adalah berambut panjang dan dikuncir. Tidak hanya itu, sensor yang berlaku di Cina membuatnya tidak pernah mendatangkan band-band metal kelas atas sama sekali hingga sekarang.
  • Indonesia, Jakarta
Di Indoensia adalah negara muslim terbesar di dunia. Hal inilah yang menjadi sensor bagi musik metal ketika masuk di Indonesia. Akan tetapi, metal ternyata berhasil masuk dan membentuk jenis musik metal tersendiri, seperti metal satu jari. Kebanyakan band-band metal satu jari hanya mengambil semangatnya saja, sebagai sebuah alat protes terhadap sebuah sistem, dengan tetap mempertahankan keimanan kepada Tuhan.
  • Palestina, Jarussalem
Palestina sebagai negara tiga agama besar yang selama ini sering berperang menjadi tempat dimana musik metal ternyata mampu membuyarkan batas itu. Dengan konsekuensi, tidak ada band pun yang menyinggung tentang hal tersebut. Akan tetapi, hal tersebut tergantung penerimaan pribadi. Band Metal Slayer, pernah membawakan lagu “Angel of Death”. Pada dasarnya lagu ini menceritakan tentang mereka yang melakukan pembantaian sehingga sangat mirip dengan peristiwa holocaust yanh merupakan kenangan pahit bagi siapapun dan yang terjadi malah para penggemar metal disana menganggap bahwa lirik lagu itu adalah sebuah kenyataan dan menjadikannya monumen terhadap holocaust sebagai peringatan agar hal-hal demikian tidak terjadi lagi.
  • Dubai
Sean Dunn memilih Dubai sebagai pengganti negara Iran. Di Dubai, dia mendapatkan informasi tentang bagaimana metal berkembang di Iran. Dan informasi yang didapat adalah metal yang terjadi Iran adalah metal yang seperti dibayangkannya. Bergerak diam-diam tapi tetap bertindak sebagai bentuk perotes terhadap sistem. Berbeda dengan Indonesia, budaya Islam di Iran tidak memberikan ruang sama sekali pada metal untuk tampil ke permukaan. Dan hal tersebut membuat para penggemar metal hanya bisa mengakses metal melalui internet.
Globalisasi memang membantu metal untuk menjadi fenomena dunia akan tetapi konsekuensi yang dihadapi adalah metal akan memiliki banyak sub-budaya yang pada akhirnya membuat metal semakin bervariasi.

Circle of Culture
Negosiasi budaya sebenarnya merupakan proses lanjutan dari globalisasi. Ketika sebuah budaya luar masuk ke dalam sebuah budaya utama. Budaya utama punya hak arbitrer untuk memaknai budaya luar tersebut. Hal ini juga terjadi pada metal. Ketika metal masuk kedalam budaya sebuah negara, dia harus disesuaikan dengan ideologi negara tersebut. Fakta yang terjadi adalah masuknya metal ke dalam sebuah negara terjadi atas permintaan masyarakat dari buaday itu sendiri. Hal ini terkait dengan citra metal sebagai bentuk protes atau kritik yang hadir dalam bentuk universal, yaitu musik.
Paul du Guy mengatakan bahwa makna pada budaya dapat diproduksi dan hal tersebut merupakan sebuah siklus yang tidak pernah berhenti. Dalam siklus tersebut ada situs-situs yang berperan penting dalam pembrian makna. Situs tersebut digambarkan dalam “lingkaran budaya” yang terdiri dari situs; Produksi, konsumsi, identitas, representasi dan regulasi. Melalui situs-situs ini makna pada budaya dapat di produksi dan di reproduksi. (Harrington & Bielby, 2001: 11-12)


Gambar. Lingkaran Budaya, Paul du Guy, 1997

Paul du Guy juga mengatakan bahwa “in analyzing the circuit one can begin in any moment or sites one chooses; while they might appear to be distinct categories, they overlap and articulate with one another in myriad ways” (Harrington & Bielby, 2001: 11-12). Dengan demikian kita dapat melihat bagaimana metal, secara sistematik, mempunyai makna yang berbeda pada tiap negara. Kita bisa mengatakan musik metal menjadi menarik karena makna diproduksi untuk menjadi representasi atas pemberontakan atau pun menjadi alat kritik terhadap sebuah sistem. Akan tetapi ketika memasuki sebuah budaya mainstream, maka metal akan menghadapi regulasi untuk melihat dapatkah makna budaya ini diterima, jika tidak apa yang perlu diambil dan apa yang perlu dibuang. Dari proses regulasi, sebuah makna baru dibentuk untuk kemudian dikonsumsikan sehingga menjadi identitas.

Penutup
Globalisasi memang sebuah jalan mudah untuk musik metal agar dapat menyebar keseluruh dunia tapi tantangan terbesar, sebenarnya datang ketika musik metal tiba didepan pintu sebuah negara dengan budaya dan ideologi yang telah menjadi mainstream. Pada tahap ini, metal harus bisa beradaptasi dengan nilai-nalai budaya dan ideologi mainstream sebuah negara untuk dapat melewati pintu masuk menuju temapt baru, dimana dia akan dikonsumsi. Intinya, tidak ada hasil jika tidak berkorban.

Daftar Pustaka


(n.d.).
Dunn, S. (Director). (2007). Global Metal [Motion Picture].

Harrington, C. L., & Bielby, D. D. (2001). Constructing the Popular: Cultural Production and Consumption. Blacwell Publisihing online.

LeVine, M. (2009). Headbanging Aagaints Repressive Regimes: Censorship of Heavy Metal in the Middle East, North Africa, Southeast Asia and China. (M. Korpe, Ed.) Copenhagen K, Denmark: Freemuse.


1 Tulisan ini ditujukan untuk UTS mata kuliah Kajian Visual Media 2012, univ. paramadina
2 Mahasiswa aktif kajian media, 209000012, angk. 2009, univ.paramadina


Download di:
http://www.scribd.com/doc/92056291

This entry was posted at 5/02/2012 02:59:00 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar