Media, Budaya dan Masyarakat 3: Asal Usul Ekonomi Politik  

Posted by Ayub Wahyudi in

Bahan:
Robert E. Babe, Cultural Studies and Political Economy: Toward a New Integration, Chapter One: Genealogy of Political Economy, Hal. 13-60.

Defenisi ekonomi politik ditiap pemikiran memiliki perbedaan. Perbedaan ini memberikan kita pemahaman tentang asal usul ekonomi politik. Pada masa ekonomi politi klasik – digawangi oleh Adam Smith, ekonomi politik mempunyai fokus pendekatan yang terbatas, yaitu lebih kepada peran sertanya terhadap buruh secara ilmiah. Pendekatan ini memiliki dua karakteristik. Pertama, ekonomi politik dipisahkan dari filososi. Kedua, menggunakan teori nilai buruh – jika buruh adalah sumber nilai maka para perjalah yang harus mendapatkan nilai tersebut.
Di masa ekonomi politik neo-klasik, fokus ekonomi politik berubah. Pendekatan ini lebih fokus pada rasa dan pilihan konsumen, tidak ada ada pembagian kelas – semua orang adalah konsumen. Hal tersebut membentuk prinsip baru dalam pendekatan ekonomi politik yaitu kedaulatan konsumen. Pendekatan ini lebih bersifat matematis – system deduktif yang berbeda dengan klasik yang terhebung dengan lingkungan politik, sosial dan budaya.
Pada masa yang lebih kontemporer, ekonomi politik juga mengalami perkembangan. Salah satunya, ekonomi politik baru dari Chicago. Pendekatan ini lebih mirip dengan yang neo-klasik hanya saja lebih luas. Jika neo klasik lebih fokus hanya pada kedaulatan konsumen maka pendekatan baru ini lebih luas, bahwa semua hal bisa dijadikan variable untuk perhitungan dan mendapatkan keuntungan. Satu pendekatan lagi dari masa kontemporer, ekonomi politik kritis.
Ekonomi politik kritis adalah hasil dari pemikiran sekolah Frankfurt – merujuk pada kata “kritis” – yang mempunyai fokus bahwa kekuasaan adalah hasil dari kebudayaan dan kesadaran. Asal usul pendekatan ini sebenarnya dikukuhkan oleh dua pemikiran, neo-Marxist dan Institusional. Pendekatan neo-Marxist – Adorno (dan Horkheimer), mengatakan bahwa relasi kuasa terhadap ekonomi – barang dan permintaan – terletak pada kemampuan industri untuk melakukan komodifikasi terhadap budaya atau lebih dikenal sebagai Industri budaya. Tujuan industri budaya adalah menciptakan kepatuhan kepada masyarakat terhadap hirarki yang telah ada dengan cara membentuk gaya hidup masyrakat. Hal ini membutuhkan penyesuaian. Dan menurut Adorno, penyesuaian tersebut dilakukan dengan cara memberikan sumbangsih berupa kenikmatan sementara agar kesadaran masyarakat menjadi kurang kritis, atau dengan kata lain masyarakat menikmati realita palsu.
Kemampuan industri budaya untuk melakukan penyesuaian merupakan senjata utama. Meskipun terjadi pemberontakan dari mereka yang sadar bahwa industri budaya hanya selalu berbicara tentang keuntungan industri. Salah satunya adalah anggapan bahwa budaya popular sebenarnya adalah cerminan dari masyarakat yang tersiksa. Akan tetapi Industri budaya mampu melakukan penyesuaian dengan cara menerima “pemberontakan” itu dan memanfaatkannya sebagai keuntungan. Sekali lagi industri budaya melakukan penyesuaian.
Dari analisis Adorno menggunakan pendekatan Freudian, pada dasarnya industri budaya melakukan kendali kesadaran dengan cara memberikan kesadaran palsu. Kesadaran palsu sebenarnya diakibatkan oleh kebutuhan manusia akan kenyamanan dan hal ini dimanfaatkan oleh industri budaya. Untuk melaksanakan hal tersebut, teknologi mempunyai peran yang sangat penting. Teknologi membuat pengaruh industri budaya semakin kuat yang pada dasarnya sudah kuat. Termasuk teknologi media massa – radio, TV dan film. Hasilnya adalah produksi industri media dengan lapisan tersembunyi dengan “makna tersembunyi”.

This entry was posted at 3/15/2011 08:46:00 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

1 komentar

Yg chapter 6 dong bang

Rabu, Juni 06, 2018 11:37:00 PM

Posting Komentar