Radio Komunitas: Ruang Publik dan Regulasi  

Posted by Ayub Wahyudi in

Refleksi dari hasil diskusi dan bedah buku: Eni Maryani (2011), Media dan Perubahan Sosial: Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas, 2011, Jakarta: Rosda. 23 Maret 2011, Paramadina Graduated School, Jakarta

Sekarang ini radio selalu dianggap sebagai media massa tidak mempunyai fungsi. Keberadaannya selalu dikaitkan dengan kekolotan atau ketinggalan jaman. Padahal jika dikaji lebih dalam lagi ternyata radio mempunyai dampak yang besar terhadap zaman. Keberadaannya masih sangat strategis. Dalam kondisi atau masa kudeta, media massa yang selalu dijadikan target untuk dikuasai adalah radio. Hal ini disebabkan karena radio adalah wadah informasi di situasi dan kondisi genting. Alasan ini bisa diterima, mengingat produksi dan distribusi teks media secara audio lebih murah dari pada media cetak dan motion picture. Pandangan diatas juga menegaskan posisi radio yang kuat didalam masyarakat tradisional secara demografi. Maka dari itu dalam kampanye politik, jika dalam daerah tersebut ada radio, TV dan media cetak, para calon akan selalu menggunakan radio ketimbang TV dan media cetak. Dengan kata lain buku “media dan perubahan sosial” memberikan kita contoh konkrit tentang signifikansi radio sebagai media massa – radio komunitas, khususnya melakukan resistensi terhadap kepentingan yang merugikan bagi khalayak – komunitas.
Media dan Perubahan Sosial: Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas adalah hasil penelitian tentang keberadaan dan posisi radio – khususnya radio komunitas – yang masih sangat strategis. Penelitian tersebut mengambil obje penelitian sebuah radio komunitas yang bernama “Angkringan” di daerah Bantul, DIY Yogyakarta. Radio ini pernah digunakan untuk mengungkap kasus korupsi didaerah tersebut. Fakta tersebut pada akhirnya memberikan penjelasan tentang bagaimana radio komunitas – keberadaan dan fungsinya – seharusnya berada dalam masyarakat..
Ruang publik – Publik Sphere – dalam pemikiran Jurgen Habbermas adalah Istilah yang sering terdengar dalam wacana kajian media, khususnya radio. Ruang publik tempat dimana para bourjouise non-state berkumpul untuk membicarakan tentang negara dan sebagai syarat tercapainya demokrasi. Radio adalah ruang publik tapi istilah tersebut kurang tepat digunakan karena “ruang publik” radio tidak sesuai dengan konsep ruang publik dari pemikiran Habbermas sehingga perlu adanya istilah yang tepat. Pandangan diatas terdengar sinis karena menegaskan bahwa “ruang publik” radio tidak bisa dijadikan sebagai syarat tercapainya demokrasi. “ruang publik” radio hanya sekedar teks tanpa konteks apapun.
Ada alasan pragmatis yang membuat keberadaan radio menjadi “tenggelam” dan kehilangan fungsinya dalam masyarakat. KPI (komisi penyiaran Indonesia) menjelaskan ada empat jenis lembaga penyiaran:
1. Publik
2. Swasta
3. Berlangganan
4. Komunitas
Keempat lembaga penyiaran tersebut mempunyai regulasi masing-masing dalam melakukan fungsi penyiarannya dalam masyarakat. Radio komunitas berada dibawah lembaga penyiaran komunitas. Regulasi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2005 tentang Penyelanggaraan Penyiaraan Lembaga Penyiaran Komunitas. Keberadaan regulasi tersebut memberikan hambatan-hambatan kepada radio komunitas, antara lain:
1. Biaya pendirian dan sertifikasi satu radio komunitas yang bersifat sosial terhitung mahal karena disamakan dengan radio swasta yang bersifat komersil, meskipun peralatan radio komunitas lebih murah daripada radio swasta.
2. Pembatasan sumber dana. Radio komunitas tidak boleh melakukan praktek komersil dan mendapatkan dana asing.
3. Terbatasnya jatah spektrum kanal untuk radio komunitas hingga perebutan kanal sering terjadi antar radio komunitas.
4. Pembatasan radius – jangkauan siaran atau sinyal radio – yaitu 2,5 km dan dalam radius tersebut hanya boleh ada satu radio komunitas. Regulasi ini tidak komperhensif karena tidak melihat demografi dan geografi dimana radio komunitas berada.
Regulasi diatas sangat kontras dengan kemampuan radio lomunitas. Padahal radio komunitas mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki radio dengan jenis yang lain. Radio komunitas lebih fokus menjangkau khalayak menengah kebawah dan daerah blind spot ¬– daerah tertinggal atau terpencil. Keberadaan radio komunitas dengan konsep dari komunitas untuk komunitas mempunyai kemampuan menyelsaikan masalah yang lebih efektif. Kemampuan tersebut sangat cocol untuk masyarakat Indonesia – plural dan multidimensi.
Radio komunitas hanya bisa hidup jika isitlah “ruang publik” tidak agi dijadikan alasan untuk membuat radio komunitas sebagai media massa yang tidak memiliki posisi strategis apapun. Regulasi yang ada juga harus mulai mengubah pandangan mereka dari profit-oriented ¬– fokus pada keuntungan – menjadi cultural-oriented – fokus kepada keberadaan budaya kita. Dengan begitu radio komunitas dan radio lainnya bisa menjalankan tugasnya dengan fungsi dari jenisnya masing-masing.

This entry was posted at 3/24/2011 06:29:00 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar