Augmented Interactivity: Realitas pada Sosial Media1
Oleh
Ayub Wahyudi2
Abstract
Improvement of media communication has been walked together with
technology innovation. It helps media communication to minimize two
basic challenge of communication itself; space and time. Media
communication, thanks to technology innovation, not just offer
compression of space, it offer a whole new unlimited space thus we
know as a virtual world that offer a virtual reality but latest
innovation that known as “Augmented Reality” was go
beyond the virtual reality itself. It offers both virtual and reality
at same time. It offers new interactivity. As we know, innovation of
technology like two-sided coin, it has effects. We assume that this
new interactivity is different to interactivity that new media offer,
such as social media. It could give new character to social media.
Reality is represented world by media. McLuhan said that “medium
is the message”. Message is the what the media are. When reality is
percieved, it percieved with the media character within. In other
word, new interactivity means new point of view to the world and the
result may a sosial change. This paper will give critical point of
view to the effect of these new-offered interactivity at social media
using and also to social change that will emerge that cause by
augmented reality.
Key word: Augmented Reality, Interactivity, Social Media.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi komunikasi sepertinya tidak akan pernah
berhenti. Hal tersebut disebabkan karena manusia tidak pernah bisa
memuaskan kebutuhan mereka. Secanggih apapun teknologi komunikasi
yang ditemukah, manusia tetap akan terus meminta teknologi yang jauh
lebih canggih dari teknologi sebelumnya. Padahal kehadiran teknologi
ibarat dua sisi mata uang, mereka membawa dua hal yang berlawanan.
Yang satu bersifat terlihat dan menguntungkan dan sisi yang lain
bersifat laten dan merugikan. Sifat laten ini terkadang lambat
disadari sehingga antisipasi yang diberikan terhadap dampak tersebut
tidak efektif. Demikian pula dengan teknologi komunikasi,
kehadirannya sangat diharapkan oleh masyarakat informasi dan digital,
akan tetapi dampak latennya baru terlihat setelah teknologi tersebut
menjadi kebutuhan dasar manusia. Kita bisa saja melihat beberapa
contoh kasus, misalnya; penculikan dan penipuan melalui media sosial.
Kehadiran teknologi komunikasi yang kini sedang berkembang,
Augmented Reality (AR), sedang berusaha agar dapat
diterima dan digunakan oleh masyarakat. Teknologi ini mempunyai
sejarah dan masa depan yang menawarkan pemenuhan kebutuhan baru yang
diinginkan manusia sejak proses digital ditemukan. Akan tetapi,
sebagai teknologi komunikasi akan ada dampak laten yang harus kita
baca. Tidak dengan tujuan untuk menghalangi kehadiran teknologi baru
ini tapi lebih bersifat kritis agar pelaksanaan dan penerapannya di
masyarakat bisa efektif dan sepenuhnya menguntungkan masyarakat.
Penerapan teknologi selalu berusaha bersifat komperhensif pada
segala bidang. Augmented Reality juga demikian. Maka dari itu
dalam penulisan ini membatasi analisis terhadap AR pada penerapannya
di media sosial. sesuai dengan namanya. Teknologi ini menawarkan
realitas baru. Analogi masalahnya berasal dari ungkapan terkenal
McLuhan bahwa media adalah pesan itu sendiri. Karakter pesan adalah
karakter dari media yang ditumpanginya. Jika media tersebut
menggunakan AR maka pesan yang dihasilkan mempunyai karakter AR. Pada
kasus media sosial, hal yang akan menjadi bidang analisa dari tulisan
ini adalah interaktivitas yang merupakan karakter andalan media
sosial. kita akan mencoba melihat bagaimana dampak laten, baik itu
nagatif maupun positif, dari interaktivitas yang terjadi di media
sosial yang menggunakan AR.
Augmented Reality: Konsep dan Aplikasi
Ide tentang konsep AR, pertama kali muncul pada1965 oleh seorang
ahli komputer yang terkenal, Ivan Sutherland. Lewat karya tulisnya
yang berjudul “The Ultimate Display”, dia menjelaskan
bahwa objek nyata dan sintesis dapat disatukan dalam sebuah tampilan
komputer.
“The ultimate
display would, of course, be a room within which the computer can
control the existence of matter. A chair displayed in such a room
would be good enough to sit in. Handcuffs displayed in such a room
would be confining, and a bullet displayed in such a room would be
fatal. With appropriate programming such a display could literally be
the Wonderland into which Alice walked”.
(Sterling,
2009)
Pada tahun 1968, ide tersebut terwujukan dalam sebuah sistem yang
disebuat “A Head-Mounted Three-Dimensional Display”.
Sistem tersebut berupa alat yang tergantung di langit-langit sehingga
disebut juga “Pedang Damocles”, yaitu pedang yang
digantung oleh seutas benang diatas kepala Damocles atas perintah
Raja Dionysius II untuk menjelaskan makna kekuasaan.
(Smith)
Gambar
1. “A Head-Mounted
Three-Dimensional Display”
atau “Pedang
Damocles”
Sistem
inilah yang menjadi sistem AR yang pertama. Meskipun sistem ini pada
dasarnya menawarkan realitas virtual (VR/Virtual Reality) akan tetapi
konsep sistemnyalah yang menjadi dasar sistem AR yang kita lihat
sekarang ini.
Selama
ini, sejak evolusi digital, kita telah nyaman dengan VR karena
memberikan kita dunia baru dimana hambatan-hambatan komunikasi
menjadi hampir tidak terasa. Ruang dan waktu dikendalikan penuh oleh
pengguna. VR adalah lingkungan tiga dimensi hasil ciptaan komupter
dan bersifat interaktif dimana penggunanya masuk dan mengendalikan
lingkungan virual sekitarnya.
“Virtual reality (VR) can be defined as a class of
computer-controlled multisensory communication technologies that
allow more intuitive interactions with data and involve human senses
in new ways. Virtual reality can also be defined as an environment
created by the computer in which the user feels present (Jacobson,
1993a).” (McLellan &
Digital, 1996)
Pada awalnya, kita tidak pernah mempermasalahkan VR sebelunya sampai
pada akhirnya kita tersadar bahwa VR memberi kita ironisasi atas arti
“nyata” itu sendiri. Meskipun kita bebas namun pada
“kenyataannya” kita terkurung. Kita tetap berada ditempat kita
berada. yang bebas hanyalah sebatas apa yang kita lihat. Tidak hanya
itu, kita tidak bisa merasakan apa-apa dalam “kebebasan” di VR,
sehingga timbullah pemikiran baru. Pasti lebih menarik jika kita
dapat membawa VR ke lingkungan nyata. Saya pribadi membayangkan
bagaimana jika game favorit saya benar-benar dapat saya mainkan
dilingkungan nyata dan saya sendiri sebagai karakter utamanya dan
dapat merasakan semua pengalaman yang ada dialami oleh karate
tersebut dengan semua indra saya. Saya membayangkannya konsep ini
seperti film “Avatar” dan “Surrrogates”.
Disinilah konsep AR muncul sebagai pemecah dari semua masalah ini.
Pada awalnya banyak yang berusaha membedakan AR dan VR. AR sering
kali dianggap sebagai anti tesa yang menutupi dan menyempurnakam
kekurangan VR. padahal AR dan VR adalah kesatuan, AR adalah bagian
dari VR. kedua konsep ini disatukan oleh konsep Reality-Virtuality
(RV) Continuum.
“Perhaps surprisingly, we do in fact agree that AR and VR are
related and that it is quite valid to consider the two concepts
together. The commonly held view of a VR environment is one in which
the participant- observer is totally immersed in a completely
synthetic world, which may or may not mimic the properties of a
real-world environment, either existing or fictional, but which may
also exceed the bounds of physical reality by creating a world in
which the physical laws governing gravity, time and material
properties no longer hold. In contrast, a strictly real-world
environment clearly must be constrained by the laws of physics.
Rather than regarding the two concepts simply as antitheses, however,
it is more convenient to view them as lying at opposite ends of a
continuum, which we refer to as the Reality-Virtuality (RV)
continuum. This concept is illustrated in Fig. 1 below.”
(Milgram, Takemura, Utsumi, & Kishino,
1993)
Dari gambar diatas kita bisa melihat bahwa kedua lingkungan bisa
menghasilkan realitas campuran (Mixed Reality/MR) dan
tergantung hasil akhirnya, apakah akan menghasilkan AR atau AV
(Augmented Virtuality).
AR sekarang telah menjadi pembicaraan hangat sebagai sebuah
teknologi baru. Padahal konsep AR telah ada sejak lama. Misalnya pada
film animasi green screen atau blue screen. Disetiap
film tersebut kita sebenarnya melihat lingkungan virtualitas yang
menjadi lokasi sytuing dari para pemain film. Kata Augmented
sendiri mempunyai arti “ditempelkan” dalam bahasa Indonesia.
Sehingga contoh diatas cukup memberikan gambaran sederhana tentang
cara kerja AR.
AR adalah upaya untuk menempelkan objek virtual yang dihasilkan oleh
komputer pada lingkungan nyata dengan menggunakan sistem tertentu.
Para ahli juga memberikan defenisi yang berbeda tentang AR.
“A variation of immersive virtual reality is Augmented Reality
where a see-through layer of computer graphics is superimposed over
the real world to highlight certain features and enhance
understanding (Isdale, 2001). Azuma (1999) explains, “Augmented
Reality is about augmentation of human perception: supplying
information not ordinarily detectable by human senses.” And
Behringer, Mizell, and Klinker (2001) explain that “AR technology
provides means of intuitive information presentation for enhancing
the situational awareness and perception of the real world. This is
achieved by placing virtual objects or information cues into the real
world as the user perceives it.” (Milgram,
Takemura, Utsumi, & Kishino, 1993)
Dari penjelasan defenisi di atas kita dapat melihat ada tiga karakter
yang menjadi pokok konsep AR. Pertama, memasukkan benda virtual
kedalam lingkungan nyata. Kedua, berjalan secara interaktif di waktu
yang nyata. Dan, ketiga, bersifat tiga dimensi (3D). Ketiga karakter
ini tersebut yang menjadi dasar pengoperasian AR.
Sejak pertama kali ditemukan, AR telah dimanfaatkan dalam berbagai
bidang. Untuk memberikan gambaran terhadap aplikasi AR, saya akan
mengambil tulisan dari Prof. Ronald T. Azuma (Azuma R.
, 2011),yaitu “A Survey of Augmented Reality”.
(Azuma, 1997)
Dalam tulisan tersebut, beliau memberikan gambaran aplikasi
AR dalam berbagai bidang.
- Bidang medis
AR digunakan dalam membantu visualisasi dan pelatihan pembedahan bagi
para calon dokter atau buat kasus pembedahan terhadap kasus medis
yang masih baru dan eksperimental. Tidak hanya itu, AR dapat
digunakan untuk melakukan pembedahan sesungguhnya dengan cara
memvisualisasikan data-data dari USG. MRI dan CT Scans sehingga para
dokter seakan-akan mempunyai penglihatan X-Ray.
- Manufacturing dan perbaikan
Pada bidang ini AR digunakan untuk menggantikan buku manual yang
hanya terdiri dari kata dan gambar. Dengan bantuan AR,
langkah-langkah dalam buku manual dapat tervisualisasi secara
interaktif sehingga pemasangan alat dapat dilakukan dengan lebih
efektif dan efisien, bahkan orang biasa yang bukan bekerja di bidang
manufacturing juga mungkin dapat melakukannya.
- Keterangan dan Visualisasi
Dengan bantuan AR, informasi pribadi maupun umum seperti peta jalan
atau pun lokasi tempat dapat tervisualisasi dengan lebih interktif
dan mendetail. Asumsinya, semua keterangan yang biasanya terdapat
pada dunia virtual langsung tergambar seperti aslinya dan sesuai
informasi yang ada pada pusat data.
- Perencanaa pergerakan robot.
Saat ini penngendalian robot jarak jauh merupakan kebutuhan dalam
berbagai industri hingga medis. Akan tetapi, teknologi ini mengalami
kendala yang cukup serius. Kendala utamanya adalah adanya penundaan
yang terjadi selama komunikasi antara robot dan pengendali. Penundaan
ini dapat merugikan karena dapat menciptakan ketidaktepatan selama
pengeoperasian. Dengan adanya AR, pengendali tidak perlu
mengendalikan robot aslinya. Cukup mengendalikan robot virtual pada
kondisi yang nyata dan menyimpan rekaman data yang telah diuji
ketepatan dan dikonfirmasi. Data-data tersebut pada nantinya yang
akan digunakan untuk mnggerakkan robot yang nyata.
- Hiburan
Film merupakan bidang yang telah lama menggunakan sistem AR. Dengan
adanya AR, lokasi pengambilan gambar dapat diambil secara visual. Hal
ini memungkinkan para aktor untuk melakukan adegan yang tidak bisa
dilakukan di lokasi yang nyata.
- Militer
AR biasanya digunakan pada pesawat tempur. Pilotnya menggunakan HUD
(Head-Up Displays) dan HMS (Helmet-Mounted Sights) yang berupa layar
serta visor yang memiliki alat keker “visual” untuk membantu dan
meningkatkan keakuratan tembakan.
Dengan beberapa penerapan AR diberbagai bidang menunjukkan bahwa AR
mempunyai kesempatan untuk menjadi teknologi multi aplikasi yang
dapat diaplikasikan pada semua bidang.
Akan tetapi, beberapa bidang yang disebut diatas merupakan bidang
pribadi. Belum ada deskripsi bagaimana aplikasi AR pada bidang
publik,seperti pada media sosial.
Media Sosial: Augmented Interactivity
Interaktivitas adalah salah satu konsep kunci dari hadirnya media
baru atas CMC (Computer Mediated Communication).
Interaktivitas dapat dipakai dalam dua makna berbeda
(Putri, 2009). Orang dengan latar belakang ilmu komputer
cenderung memaknainya sebagai interaksi pengguna dengan komputer,
sebagaimana permainan-permainan interaktif. Sedangkan para ahli
komunikasi mendefenisikan interaktivitas sebagai tingkatan dimana
pada proses komunikasi para partisipan memiliki kendali terhadap
peran, dan dapat bertukar peran, dalam dialog mutual mereka.
Pemahaman interaktifitas ahli komunikasi tersebut dikenal juga
sebagai CMC. Akan tetapi pemahaman interaktivitas sendiri sedikit
terlalu membingungkan sehingga perlu dipahami secara sederhana.
Dimulai dari perbedaan antara pemikiran Mcluhan dan Manovich terhadap
interaktivitas media serta pandangan Kiousis tentang interaktivitas
itu sendiri (Gane & David, 2008: 90-93).
McLuhan berpendapat bahwa interaktivitas adalah sejauh mana sebuah
media membangkitkan partisipasi audiens. Media yang kurang
membangkitkan partisipasi audiens karena telah menyediakan banyak
informasi disebut sebagai “Hot Media” dan media yang
bersifat sebaliknya disebut “Cool Media”, yaitu media yang
menyediakan sedikit sekali informasi sehingga penggunanya harus lebih
aktif. Sedangkan Manovich berpendapat bahwa interaktivitas bahwa
sejauh mana sebuah media memberikan pilihan elemen dalam media
tersebut. Media dengan sistem responsif, rumit dan fleksibel serta
menyediakan jangkauan luas terhadap kemungkinan terbuka yang
memungkinkan pengguna terbuka juga untuk mendefenisikannya disebut
open interactivity media sedangkan closed interactivity
media hanya memberikan kesempatan kecil pada pengguna berdasarkan
susunan pilihan jalur terbatas yang ketat. Kedua pandangan diatas
memang berbeda, tapi hanya berbatas pada keberadaan media itu
sendiri. Akan tetapi kedua konsep interaktivitas tersebut berusaha
mengatakan bahwa media mempunyai interaktivitas yang berbeda, baik
lama maupaun yang baru, tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Pendapat Kiousis juga menarik, dia mengatakan bahwa interaktivitas
dapat dilihat dari tiga sisi yang berbeda; manusia-manusia,
mesin-mesin dan manusia-mesin.
Keberadaan interaktivitas sebuah media baru telah menjadi karakter
yang akan ada pada setiap media digital, termasuk media sosial.
Dengan menggunakan ketiga pendapat sebelumnya kita dapat melihat
sifat interaktivitas media sosial itu sendiri. Analisa ini akan
membantu kita untuk melihat bagaimana nantinya pengaruh AR terhadap
interaktivitas media sosial itu sendiri. Pertama, media sosial adalah
hot media. media sosial adalah media yang tidak membutuhkan
banyak partisipasi dari penggunanya karena telah menyediakan
informasi yang dia butuhkan. Hal tersebut sekaligus membuat media
sosial menjadi closed interactivty media. media sosial telah
mempunyai standar operasi yang membantu dan mengarahkan penggunanya.
Ketiga, analisis terakhir ini sangatlah sulit karena kita harus
menjelaskan dari sisi mana kita melihat interaktivitas media sosial.
Media sosial adalah media yang dapat dilihat dari ketiga sisi manapun
yang telah disebutkan sebelumnya. Kita harus melakukannya untuk
membatasi argumen yang nantinya akan saya paparkan pada tulisan ini
dan mempermudah untuk melihat pengaruh AR terhadap interaksi media
sosial. Maka dari itu, saya akan kembali pada pandangan McLuhan bahwa
medium adalah pesan sendiri. Karakteristik media sosial adalah
komunikasi many-to-many. Hal tersebut membuat media sosial
membungkus pesan dalam bentuk “sosial” artinya pesan akan selalu
berbentuk pemberitahuan kepada pengguna lain dan bersifat anonimus,
heterogen dan tersebar secara geografis. Dari penjelasan diatas, saya
akan melihat interaksi media sosial dari sisi human-machine
(manusia-mesin), yaitu melihat bagaimana pengguna memposisikan diri
terhadap media sosial. Dengan demikian interaktivitas media sosial
yang akan dianalisa adalah sebagai hot media, closed interactivity
media dan dari sisi hubungan manusia-mesin. Kita akan lihat
pengaruh AR terhadap ketiga jenis interaktivitas tersebut.
AR merupakan upaya untuk “menempelkan” objek visual tiga dimensi
pada lingkungan nyata dengan waktu yang nyata. Jika konsep
operasional tersebut “ditempelkan” pada interaktivitas media
sosial, maka saya dapat berasumsi bahwa sebagai berikut:
- Media Sosial sebagai Warm Media
McLuhan mengatakn media sosial sebagai hot media karena media
sosial sangat penuh dengan informasi sehingga membutuhkan sedikit
sekali partisipasi dari penggunanya. Akan tetapi kita juga jangan
berasumsi bahwa dengan demikian maka AR akan membaut media sosial
menjadi cool media. Dengan masuknya konsep AR, media sosial
justru akan menjadi gabungan dua-duanya, yaitu menjadi warm media.
Keberadaan AR mampu membuat pengguna media sosial akan lebih banyak
berpatisipasi dengan indra mereka kemudian mengekspresikannya ke
dalam bentuk visual sambil tetap mampu mendapatkan banyak informasi
sebanyak yang mereka perlukan.
- Media sosial Sebagai Open Interactivity Media.
Anggapan bahwa media sosial sebagai closed interactivity media
dapat dilihat dari bagaimana selama ini pengguna hanya mempunyai
kebebasan terbatas. Pengguna hanya boleh menjalankan media sosial
sesuai dengan elemen-elemen yang telah disediakan. Akan tetapi dengan
hadirnya AR, pengguna dapat menambah atau pun mungkin mengurangi
elemen-eleman yang diinginkan oleh pengguna.
- Interaktivitas Human-Machine
Selama ini para pengguna telah menikmati keberadaan media sosial.
Akan tetapi, seperti dunia virtual lainnya, pengguna tidak dapat
menikmati realitas disekitarnya. Bahkan dengan menggunakan mobile
media, para pengguna pun tetap harus terpaku pada media tersebut.
hal tersebut sangat dilematis, media statis seperti PC memberikan
kenyamanan pada sisi visual karena memberikan tampilan yang lengkap
akan tetapi menuntut kita duduk diam dalam sebuah ruangan. Sedangkan
media mobile memberikan pergerakan yang cukup luas akan tetapi
menuntut untuk lebih fokus karena tampilan yang sempit dan kecil.
Tidak hanya itu mobile media tidak membebaskan tangan
penggunanya, sehingga tetap saja mengikat. Konsep AR pada akhirnya
memungkin kebebasan dimana pengguna bisa bebas menikmati realitas
dengan sambil membawa virtualitasnya. Bayangkan kita bisa menikmati
media sosial sambil tetap bisa melakukan kegiatan sehari-hari.
Pengaruh AR pada media sosial seolah memberikan kesempatan yang
lebih luas terhadap perkembangan teknologi. Media sosial pada
akhirnya tidak hanya menawarkan lingkungan virtual saja tapi juga
lingkungan nyata. Dengan kata lain, media sosial dengan AR dapat
membuat kita menikmati media sosial sekaligus menikmati realitas.
Dengan begini AR akan memberikan defenisi baru tentang realitas yang
ditawarkan media sosial atau mungkin memberikan kita sebuah media
baru. Saya membayangkan sebuah WEB 2.0 dengan user-generated
virtual content dalam kondisi real time-real environment
sebagai contohnya. Dimana penggunanya punya kebebasan tak
terbatas terhadap bagaimana dia menggunakan sebuab media sosial.
Kehadiran AR memberikan ide baru yang inovatif dan faktual terhadap
kebutuhan pengguna media sosial saat ini, sehingga teknologi ini
menjadi perbincangan para pakar teknologi bukan tanpa alasan yang
jelas.
Dampak Laten Augmented Interactivity
Era digital adalah era dimana semua informasi terkompterisasi. Adanya
fenomena komputerisasi di dalam masyarakat tentunya berkaitan dengan
perkembangan teknologi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Yang
telah melahirkan pula budaya media baru, pengetahuan baru, serta
pengalaman-pengalaman baru pada masyarakat dalam menggunakan dan
memanfaatkan media dan teknologi-teknologi tersebut. Dengan adanya
hal-hal tersebut masyarakat pun akan mengalami perubahan dalam relasi
sosialnya, ataupun akan mengalami kesulitan dalam melihat
‘real-world’ mereka. Hal yang sama juga berlaku pada kehadiran AR
sebagai teknologi media baru.
Tokoh Postmodernisme Jean Baudrillard melakukan penelitian-penelitian
perihal perubahan media dan juga apa yang telah diproduksi oleh
media. Salah satu penemuannya yang paling terkenal dalam bidang
komunikasi adalah ‘Hiperrealitas’. Secara singkat
hipperrealitas adalah suguhan ‘realitas’ yang lebih nyata dari
aslinya, dimana batas antara yang nyata (fakta) dan maya (palsu)
sulit untuk dibedakan. Media pun dikatakan sebagai sesuatu yang
bersifat simulasi, dunia simulasi, yang bermain pun adalah simulasi
atas realitas untuk menghasilkan ‘realitas’ baru, dimana
‘realitas’ itu lebih riil daripada kenyataannya
(Sabili, 2009).
Para pengguna media sosial dengan aplikasi AR pada akhirnya tidak
akan lagi berada pada posisi lingkungan nyata. Mereka akan berada
pada posisi Mixed Reality yang pada akhirnya mereka tidak akan
bisa lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang virtual. Bisa
dibayangkan dampak “kebingungan” akan melanda para pengguna media
sosial. mereka tidak akan lagi percaya pada realitas yang lain,
kecuali realitas yang mereka ciptakan. Mereka tidak akan lagi percaya
pada media sosial lain, kecuali media sosial yang mereka telah
ciptakan sendiri.
Penutup
Bayangkan para pengguna dapat menggunakan media sosial sesuai dengan
keinginan mereka tanpa harus mengikuti prosedur seperti yang ada pada
media sosial pada umumnya. Kita dapat menambahkan, mengurangi dan
mengatur dengan bebas elemen-eleman yang dibutuhkan kapan pun itu
perlu dilakukan. Tidak hanya itu, kita bisa menggunakan media sosial
tanpa harus menceburkan diri langsung pada lingkungan virtual yang
dtawarkan oleh media sosial. Bayangkan juga para pengguna dapat
chatting sambil ngobrol dalam waktu yang bersamaan sehingga
kita tidak perlu lagi harus mengatur dan memilah waktu antar virtual
dan realitas. Bahkan setiap orang mungkin dapat memiliki media
sosialnya sendiri dalam real time-real environment. Kehadiran
AR dalam penggunaan media sosial akan mendapat sambutan hangat dari
pengguna media sosial dan industri teknologi komunikasi.
Akan tetapi, kehadiran AR, ternyata memberikan kesempatan masa depan
yang berbeda. Terjadinya kebingungan semakin kita berusaha
menggabungkan kedua realitas yang ada, semakin kita lupa dimana
posisi kita. Para pengguna pada akhirnya akan merasa kebingunan.
Mungkin saat ini kita belum sadar karena masih menyemarakkan hadirnya
AR dan hal tersebut wajar. Seperti teknologi lainnya, kehadiran AR
memberikan jawaban terhadap masalah-masalah kehidupan. McLuhan
mengatakan bahwa teknologi adalah perpanjangan indra manusia tapi
bukan berarti kita harus menyerahkan kemampuan kita pada teknologi.
AR adalah jawaban terhadap upaya untuk menggabungkan kedua realitas
tapi bukan berarti kita menyerahkan realitas kita pada AR. Mulai saat
ini kita harus mampu untuk menyadarkan para pengguna lainnya untuk
tetap menganggap AR sebagai teknologi pembantu bukan sebagai
teknologi pengganti.
Daftar Pustaka
Azuma, R. (2011). Home:
Roland Azuma. Retrieved Maret 26, 2012, from
Roland Azuma: http://www.ronaldazuma.com
Azuma, R. T. (1997,
Agustus 4). ARPresence.pdf (Application/pdf
object): University of North Carolina.
Retrieved Maret 26, 2012, from University of North Carolina web site:
http://www.cs.unc.edu/~azuma/ARpresence.pdf
Gane, N., & David, B.
(2008). New Media: The Key Concept.
New York: Berg.
McLellan, H., &
Digital, M. W. (1996). The Handbook of
Research for Educational Communication and Technology: The
Association for Educational Communications and Technology.
(D. H. Jonassen, Ed.) Retrieved Maret 26, 2012, from The Association
for Educational Communications and Technology web site:
http://www.aect.org
Milgram, P., Takemura,
H., Utsumi, A., & Kishino, F. (1993). Comm
Research: Communication Research Wiki.
Retrieved maret 26, 2012, from Communication Research Wiki:
http://wiki.commres.org
Putri, S. (2009).
jiunkpe/s1/Fikom/2009/jiunkpe-ns-s1-2009-51405167-14385-jaringan-chapter2.pdf:
Petra Christian University Library.
Retrieved Maret 26, 2012, from Petra Christian University Library web
site:
http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=9&submit.x=15&submit.y=27&submit=next&qual=low&submitval=next&fname=%2Fjiunkpe%2Fs1%2Fikom%2F2009%2Fjiunkpe-ns-s1-2009-51405167-14385-jaringan-chapter2.pdf
Sabili. (2009, September
2). Tafakkur: Sabili.
Retrieved Maret 26, 2012, from PT. Bina Media Sabili web site:
http://www.sabili.co.id/tafakur/hiperrealitas
Smith, S. (n.d.).
Language: Conjecture Corporation.
Retrieved Maret 26, 2012, from Conjecture Corporation web site:
http://wisegeek.com
Sterling, B. (2009,
September 20). Blogs: Wired.
Retrieved Maret 26, 2012, from Wired: http://www.wired.com
http://www.sabili.co.id/tafakur/hiperrealitas
1
Ditulis dalam rangka mengikuti “3rd
International Communication Research Conference” oleh London
School Of Public Relation (LSPR) Jakarta.
2Mahasiswa
tingkat ketiga univ. paramadina, peminatan kajian media. Kandidat
Pramadina-BNI46 Fellowship 2009.
download di:
http://www.scribd.com/doc/92056684
This entry was posted
at 5/02/2012 03:02:00 PM
and is filed under
Tugas Kuliah
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.