IDENTITAS KEBUGISAN DAN KEMUSLIMAN  

Posted by Ayub Wahyudi in


IDENTITAS KEBUGISAN DAN KEMUSLIMAN
(Sebuah Historiografi personal)
Ayub Wahyudi/209000012

Historiografi adalah sebuah penulisan yang memberikan gambaran detail tentang sejarah dari sebuah peristiwa. Akan tetapi, Histografi kali ini bersifat personal; yaitu menjelaskan sejarah dari seseorang (hal ini bisa disamakan dengan Bibliografi). Histografi personal ini akan memberikan penjelasan tentang identitas, komponen-komponen dari identitas tersebut serta bagaimana komponen-komponen identitas tersebut terbentuk. Stuart Hall, dalam Culture, Community and Difference (1990), mengatakan bahwa identitas dapat dilihat sesuatu yang mengada (being) dan sebagai sesuatu yang menjadi (becoming). Mengada berhubungan dengan adanya fungsi kesatuan dan komunalitas dan menjadi ada hubungannya dengan proses identifikasi; yaitu suatu keadaan yang menciptakan atau membentuk formasi identitas kita. Untuk mengkaji sebuah identitas kita dapat melihatnya dalam tiga subjek; Subjek pencerahan, Subjek Sosiologis dan Subjek postmodern. Identitas dalam subjek postmodern harus dipahami dalam defenisi sejarah bukan hanya biologis. Oleh karena itu, penulis menggunakan historiografi untuk menggambatkan identitasnya. Akan tetapi, komponen identitas terlalu banyak sehingga perlu dibatasi, belum lagi ada beberapa hal personal yang tetap harus dipersonalkan dan tidak bisa dituangkan dalam ruang publik. Maka dari itu, penulis hanya akan membahas tentang Kemusliman dan kebugisan yang merupakan 2 komponen identitas besar yang melekat pada diri penulis.

Domain Identifikasi
Nama saya adalah ayub wahyudi. Laki-laki Suku Bugis kelahiran Parepare, 3 Oktober 1989. Menganut agama Islam. Parepare adalah tempat aku dilahirkan sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas aku tinggal di daerah tersebut. Semua kehidupan dan wawasanku selama 18 tahun berasal dari daerah tersebut.
Parepare adalah kota yang cukup bersejarah di Wilayah affdeling Ajatappareng–nama wilayah regional yang diberikan oleh belanda. Sebuah kota yang terletak di pesisir tetapi didominasi dataran tinggi. Kota ini dikenal sebagai Kota Jasa dan Niaga dan menurut sejarah yang tertulis, Kota Parepare dulu hanya wilayah belantara yang tidak berpenghuni. Akan Tetapi, sejak pelabuhan berdiri di abad XV wilayah ini mulai ramai dan mulai didatangi para pendatang dari berbagai dalam dan luar wilayah, khususnya dari sekitar Ajatappareng. Mereka menetap disana dan mendirikan sebuah kota yang sekarang diberi nama Kota Parepare. Wilayah ini terdiri dari berbagai macam suku yang ada di Sulawesi Selatan; Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar. tapi yang paling mayoritas adalah Suku Bugis.
Pada Masa Pra-Islam, Suku Bugis adalah suku primitif dengan kearifan lokal yang sederhana dan menganut paham animisme hingga berbagai macam budaya dan agama masuk dapat dengan mudah melebur didalamnya, khususnya Islam. Islam pertama kali masuk ke Pulau Sulawesi oleh Datuk Ri Bandang; Ulama dari tanah minang dan pertama kali menyebarkannya di wilayah Tana Toraja. Hal ini menciptakan sebuah asumsi kenapa ada kemiripan arsitektur Rumah Gadang dan Tongkonan. Sepeninggalnya Datuk Ri Bandang, Islam di sebarkan oleh apa yang dikenal dengan Pitu Walli (Tujuh orang wali) seperti yang ada di jawa. Akan tetapi, ajaran islam tidak seberhasil seperti akulturasi budaya yang dilakukan dijawa meskipun ada kemiripan hasil yaitu tetap terjaganya budaya dan adat animisme. Fenomena ini juga terjadi di Parepare. Suku Bugis sebenarnya masih terdiri dari beberapa Sub Suku disesuaikan dengan wilayah dan aksen mereka. dan di Parepare semua sub suku ini ada sehingga, saya tidak bisa mengatakan suku mana yang paling minoritas. hanya saja karena Parepare memiliki pelubahan maka dikenal juga sebagai kota paling ramai kedua setelah Kota Makassar yang menjadi Ibu Kota Propinsi Sulawesi Selatan. Hal ini juga berpengaruh terhadap masuknya dampak globalisasi sehingga Parepare berkembang menjadi menuju kota metropolitan meskipun umurnya masih muda. Parepare baru umur 64 tahun.

Identifikasi Kebugisan dan Kemusliman
1. Kebugisan
Aku merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. kedua orangtuaku asli bugis, hanya saja bapak dari sub suku Sidrap dan ibu dari sub suku wajo. meskipun demikian keduanya tetap mempercayai bahwa berbicara dengan tegas dan tidak berbasa basi adalah cara menyampaikan pesan yang terbaik. Akan tetapi, dalam keluargaku nilai-nilai kebugisan yang aku dapatkan sedikit agak rancu dengan nilai etis yang ada pada umumnya. nilai-nilai yang sering ditekankan hanyalah bagaimana menjaga kejujuran dan kepercayaan, dan hal tersebut masih sering aku ingat jika diberi sebuah tanggung jawab. Ada satu nilai yang sebenarnya menjadi nilai dari bugis itu sendiri yaitu konsep siri’ na pesse’. kedua nilai mempunyai makna dasar rasa malu dan rasa kasihan; yaitu menjaga diri agar tidak malu dan mejaga rasa kasih kita pada orang. Meskipun demikian makna nilai tersebut sedikit berbeda dikeluarga ku. siri’ diartikan agar jangan sampai kita diinjak oleh orang biarpun kita miskin dan pesse’ mendapatkan tambahan defenisi, ingatlah kebaikan dan kejelekan orang terhadap kita dan keluarga kita. Hal ini menyebabkan saya tidak ingin diremehkan dan tidak ingin diinjak atau dibuat malu hingga pada kahirnnya saya sring sulit melupakan; baik itu kebaikan ataupun kejahatan orang. Dan ketika itu terjadi saya tidak dapat menyembunyai pikiran tersebut karena akan langsung terlihat di sikap dan wajah saya sesuai dengan apa yang orang lain lakukan terhadap saya. Jika dia baik maka saya akan baik tapi sebaliknya, jika dia jahat maka saya akan memperlihatkan gelagat tidak suka. bahkan terkadang sikap yang saya miliki tersebut berkembang menjadi bentuk yang ketiga, yaitu sikap individualis, dimana saya hanya akan berbicara kepada orang jika saya mempunyai urusan dengan orang tersebut.

2. Kemusliman
Keluarga inti saya semua muslim. Bapak, ibu dan adik perempuan memeluk agama islam. Keluarga dari ayah saya sangat taat dengan ajaran islam, kakek adalah tokoh masyarakat yang dituakan yang sering dijadikan tabib. Keluarga dari ibu saya, tidak setaat keluarga ayah saya, tapi sebagian besar mengatakan kalau mereka memeluk Islam. Meskipun demikian hal tersebut tidak terasa pada keluarga saya. Ayah dan Ibu saya adalah orang tua yang kurang tegas dalam urusan pendidikan agama kepada anak-anaknya dan juga tidak terlalu taat. Apa yang menjadi keunikan dari keluarga saya sebagai agama pemeluk Islam adalah budaya animisme yang ternyata masih melekat kuat yang selalu dikaitkan dengan adat dan keharusan sebagai makhluk. Salah satu contohnya adalah budaya sesajen, dijawa hal ini sering ditemukan akan tetapi hal yang menjadin keunikan dari suku bugis adalah sesajen diberikan bukan cuma pada Tuhan orang Islam tetapi pada makhluk-makhlukk gaib disekitar kita dan ini Cuma terjadi pada masyarakat Islam di suku bugis. Meskipun demikian saya tidak tertarik untuk menerima pemahaman yang demikian. Saya percaya pada keberadaan makhluk-makhluk disekitar saya tapi ada hal yang menjadi tidak masuk akal. Seakan-akan menunjukkan bahwa “mereka” lebih mempunyai kuasa atas manusia sehingga juga harus ikut disembah dan didewakan. Hal ini membuat saya merasa diinjak dan dipermainkan oleh sesama makhluk ciptaan Tuhan dan yang jelas ini berbeda dengan nilai siri’ yang selalu diajarkan ke saya. Sehingga kemusliman yang pada akhirnya muncul pada diri saya adalah saya percaya cuma percaya bahwa hanya Tuhan yang punya kuasa. Saya tidak perduli pada prosesi penyembahan kepada apapun, Meskipun saya mempercayai tentang keberadaan mereka, namun saya tetap tidak akan menghormat kepada mereka, walaupun mereka punya kekuatan melebihi manusia seperti saya.

KESIMPULAN
Historiografi personal ini berusaha menjelaskan identitas saya sebagai subjek postmodern, dimana subjek ini dikaji dari defenisi sejarah. Identifikasi diri saya terdiri dari berbagai komponen identitas yang membentuk sebuah formasi dan setiap komponen tersebut mempunyai sejarah kenapa dia menjadi bagian dari identitas yang melekat pada diri saya. beberapa diantaranya adalan kebugisan dan kemusliman saya.
Kebugisan saya terletak pada tentang bagaimana nilai-nilai masyarakat bugis terinternalisasi kepada saya yaitu ideologi siri’ na pesse’. Makna kedua kata tersebut adalah agar saya tidak membiarkan saya diinjak oleh orang lain dan selalu ingat akan kebaikan serta kejahatan orang lain. Orang suku bugis yang dikenal tegas dan tidak suka berbasa basi juga menajdi sikap saya berargumen sehari-hari, hal ini juga membuat saya tidak bisa menutupm perasaan saya yang sebenarnya. Dan itu dapat terlihat pada sikap saya kepada orang lain.
Kemusliman saya terletak pada bagaimana saya menyembah Tuhan yang saya yakini. Budaya Animisme pada masyarakat bugis masih terikat kuat. Budaya sesajen pada akhirnya tidak hanya menjadi seserah kepada Tuhan Yang Maha Esa tapi juga pada makhluk-makhluk gaib yang dipercayai ada disekitar kita yang punya kekuatan lebih untuk menjaga ataupun menghancurkan. Akan tetapi, saya tidak menerima hal yang demikian. Bukan pada keberadaan mereka tapi bagaimana kita terlalu mendewakan mereka sebagai pengatur selain Tuhan. Padahal mereka adalah makhluk ciptaan Tuhan juga. Menyembah mereka dan mengakui kekuatan mereka berarti membiarkan mereka menginjak kita dan hal itu berlawanan dengan nilai kebugisan saya.

This entry was posted at 5/02/2012 02:50:00 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar