Sejak
reformasi 1998, media massa telah mengalami euphoria kebebasan
setelah selama 32 tahun terkungkung dibawah tirani otoriter rezim
orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Media massa pada akhirnya
mampu memberikan informasi pada khalayak sesuai dengan konten
informasi tersebut tanpa harus disensor apalagi dilarang, tidak ada
lagi ketakutan akan dibredel jika memberikan informasi yang tidak
sesuai dengan keinginan penguasa. Hingga hari ini media massa tetap
berjalan menikmati kebebasan mereka dalam melakukan tugas mereka
sebagai penyedia informasi bagi khalayak. Akan tetapi, kebebasan
bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan dan di agungkan karena apa
yang kita sebut kebebasan terkadang menjadi persoalan etis. Kebebasan
dapat membatasi, atau bahkan merusak, kebebasan orang lain. Dengan
kata lain, adanya kebebasan maka kita dapat memahami kebebasan yang
lain. Seperti kata Frans Magnis-Suseno, “hanya karena saya memiliki
kebebasan, saya dapat dibebani kewajiban moral”1.
Ketika kita bebas maka harus ada aturan. Maka dari itu, kebebasan
yang sekarang dimiliki oleh media massa juga harus diatur dalam
kesepakatan bersama. Aturan tersebut kita kenal Kode
Etik Jurnalistik dan Undang-undang No. 40 Tahun1999 tentang Pers.
Korupsi,
dapat kita pahami bersama, sebagai sesuatu yang merusak kebebasan
orang lain dalam jumlah besar. Korupsi mengambil hak orang lain tanpa
melihat dampak dari hilangnya hal tersebut. Orang yang kehilangan
hak dapat dianggap sebagai orang yang kehilangan kebebasan. Mereka
seperti orang yang mempunyai rumah tapi tidak memiliki kunci rumah
tersebut. Maka wajarlah pada pemerintahan SBY dari 2004, mengajak
kita untuk memerangi korupsi hingga saat ini. Dampak dari kampanye
tersebut membuat korupsi menjadi musuh negara nomor satu yang selalu
menjadi pembahasan di ruang publik. Akan tetapi, fakta bahwa korupsi
menjalar di pemerintah dan ruang politik adalah akibat dari kebebasan
media massa. Tidak ada hal yang buruk terhadap hal itu, hanya saja
media massa melakukannya dengan membabi buta sehingga melupakan
aturan yang telah mereka buat sendiri. Mereka melakukan cara apapun
agar dapat membongkar korupsi meskipun harus melupakan etika yang
telah mereka sepakati sendiri. Hal ini telah menjadi persoalan etika.
Media massa saat ini telah bertindak bebas dengan memberantas korupsi
yang telah merusak kebebasan orang banyak tanpa mematuhi etika yang
telah ada sehingga, entah mereak sadar atau tidak, mereka juga telah
merusak kebebasan orang lain.
Beberapa
kasus korupsi yang telah dibongkar oleh media massa memang merupakan
hal yang seharusnya. Meskipun tidak berhasil membongkar, akan tetapi
beberapa kasus korupsi pada akhirnya berhasil menjadi perhatian
masyarakat dan para penegak hukum sehingga kasus tersebut berhasil
terbongkar. Salah satu kasus yang heboh adalah kasus korupsi
penyelewengan dana wisma atlit oleh Nazarudin yang merupakan
bendahara umum Partai Demokrat.
Pemberitaan
pers tentang skandal M. Nazaruddin dapat menjadi contoh. Jika
dicermati dengan teliti, banyak berita tentang skandal ini yang tidak
sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik serta merugikan Anas Urbaningrum
dan lain-lain. Namun harus diakui, berkat pemberitaan pers pulalah,
KPK dan pemerintah serius menangani skandal ini. Tanpa pemberitaan
pers, sangat mungkin kontroversi tentang Nazaruddin akan "layu
sebelum berkembang", berakhir dengan antiklimaks. Kasus diatas
merupakan contoh dilematis dari kebebasan media massa dalam melakukan
pemberitaan demi memberantas korupsi yang ada di Indonesia.
Jurnalisme hit and run, Begitu istilah untuk trend
yang saat ini marak di Indonesia. Jurnalisme yang serba menekankan
aktualitas, kecepatan penyampaian informasi, dengan menomorduakan
kelengkapan dan kelayakan jurnalistik. Jurnalisme yang lebih
mengedepankan tujuan secara umum dengan mengesampingkan kebenaran
proses. Perkembangan terbaru ini menarik untuk diteropong dari sudut
pandang etika. Dengan tren yang lebih mengedepankan aktualitas,
kecepatan transmisi pesan, dan tujuan secara umum itu, pers Indonesia
tampaknya bertolak dari pendekatan etika yang bersifat teleologis
konsekuensialis. Etika yang diperkenalkan Aristoteles ini menyatakan
bahwa baik-buruknya suatu tindakan bergantung pada tujuan atau dampak
yang ditimbulkan. Nilai moral suatu tindakan tidak ditentukan oleh
prinsip-prinsip tentang tindakan yang benar, tapi oleh observasi atas
dampak-dampak tindakan. Jika dampaknya baik, baik pula tindakan itu,
meskipun dilakukan dengan mengabaikan prinsip tindakan yang benar2.
Pernyataan
di atas menggambarkan bahwa media massa telah melakukan pemberitaan
tanpa memenuhi kreteria jurnalisme yang sesuai dengan etika
jurnalistik. Ada beberapa prinsip yang telah dilanggar, antara lain;
prinsip asas praduga tak bersalah, verifikasi dan objektifikasi.
pelanggaran tersebut dilakukan demi memberantas korupsi dan kita tahu
memberantas korupsi merupakan dorongan hati karena korupsi telah
merenggut hak orang lain. Dalam pandangan deontologi Immanuel Kant,
tindakan pelanggaran terhadap etika jurnalistik tersebut merupakan
hal yang Immoral. Menurut Kant, dorongan hati semacam itu bisa saja
baik, tapi moralitas tidak terletak padanya3.Dalam
perdebatan tentang teori-teori etika, Deontologi dan Teleologi
merupakan teori etika yang selama ini saling bertolak belakang
terhadap pencapaian moralitas dalam setiap kehidupan manusia.
Deontologi
dan Teleologi: Etika Pemberitaan Korupsi
Etika dan moral adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan
pembahasannya. Secara sederhana, etika adalah ilmu yang menjelaskan
permasalahan moral. Moral sendiri dapat diartikan sebagai:
“Concerning habits, customs, ways of life, especially when
these are assested as good or bad, right or wrong. Ethymologically
the Latin “moral” corresponds to the Greek “ethical”. They
both mean “concerning habits, etc”. ‘Ethical’ and ‘unethical’
tend often to be used of considerable behaviour directed at interests
other than those of the agent, at any rate where the agent is an
individual person.” A.R. Lacey (1996)4.
Sedangkan etika sendiri dapat secara secara etimologis etika berasal
dari kata Yunani ethikos. Secara terminologi etika diartikan sebagai,
“That study or discipline which concerns itself with judgements of approval dan disapproval, judgments as to the rightness or wrongness, goodness or badness, virtue or vice, desirability or wisdom of actions, dispositions, ends, objects, or states of affairs”, Meta-Encyclopedia of Philosophy, 20075.
Defenisi tentang moral dan etika diatas menjelaskan bahwa etika adalah ilmu yang berusaha menjawan tentang permalahan moral.
Deontologi
dan teleologi adalah teori etika dengan pendekatan etika normatif.
Etika normatif adalah yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai
sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia
dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi
penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan
yang akan diputuskan. Etika Deontologi, terdiri kata Deon
yang
berarti kewajiban dalam bahasa yunani. Jadi secara harafiah istilah
ini semacam teori tentang kewajiban. Kant mengatakan bahwa kewajiban
adalah dasar moralitas. Dalam tindakan menunaikan kewajiban, menurut
Kant, manusia meninggalkan pamrih-pamrihnya, maka kehendak baik
didunia ini terwujud dalam pelaksanaan kewajiban. Tindakan yang
dilakukan demi kewajiban, bernilai moral. Dimana kewajiban yang
dimaksud adalah kewajiban yang sesuai hukum universal6.
Dengan kata lain, bertindak sesuai hukum yang telah ada adalah
tindakan yang bermoral. Deontologi fokus pada tindakannya. Sedangkan
yang sering menjadi kebalikan dari deontology adalah etika teleologi.
Etika
Teleologi justru mengukur baik
buruknya
suatu
tindakan
berdasarkan
tujuan
yang
ingin
dicapai
dengan
tindakan
itu,
atau
berdasarkan
akibat
yang
ditimbulkan
oleh
tindakan
itu.
Etika
teleologi
lebih
bersifat
situasional,
karena
tujuan
dan
akibat
suatu
tindakan
bisa
sangat
tergantung
pada
situasi
khusus
tertentu7.
Dengan kata lain, selama tujuan, akibat atau hasilnya baik maka itu
adalah tindakan yang bermoral.
Moral
Media Massa.
Media
massa sebagai pilar keempat demokrasi sering dianggap sebagai watch
dog.
Predikat tersebut membuat media massa mempunyai kuasa dan sekaligus
seolah mempunyai tanggung jawab sebagai institusi yang mengawasi,
khususnya mengawasi pemerintah. Ketika pemerintah melakukan
pelanggaran, apa lagi dalam bentuk korupsi, media massa merasa
mempunyai tanggung jawab moral untuk memberitahukannya kepada publik.
Pemberitaan pun dilakukan agar pelanggaran tersebut menjadi sesuatu
yang opini utama dalam masyarakat sehingga masyarakat akan melihat
pelanggaran tersebut dan bertindak. Agar opini tersebut bisa bertahan
maka informasi akan terus menerus diulang agar tidak dilupakan. Akan
tetapi, pengulangan terus menerus justru membuat khalayak bosan dan
bisa menjauhi isu tersebut sehingga perlu dicari berita baru dengan
konten yang berhubungan agar menjadi sebuah penyegaran. Maka dari
itu, media massa memanfaatkan isu, gossip dan rumor sebagai bumbu
penyegar. Disinilah titik permasalah terjadi. Terkadang isu, gossip
dan rumor dapat berkembang menjadi kepercayaan yang dianggap sebagai
sebuah fakta. Dengan demikian, jika ada nama yang diisukan,
digosipkan atau dirunorkan terkait dengan korupsi dapat menjadi fakta
bahwa nama tersebut ikut terlibat dalam kasus korupsi yang sedang
terjadi.
Korupsi,
secara arti harafiah, adalah kebusukan, kebejatan, keburukan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang me nghina atau memfitnah. Arti
kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa
Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia: “Korupsi ialah perbuatan buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya”8.
Memberantas korupsi, bagi media massa, adalah sebuah tanggung jawab
yang harus dilaksanakan demi mendukung terciptanya negara dengan
demokrasi sehingga wajar jika pemberitaan kasus korupsi selalu
didahulukan agar khalayak ingat akan bahayanya korupsi. Akan tetapi,
tindakan pemberitaan korupsi dengan melanggar semua kode etik
merupakan tindakan yang salah. Dengan kata lain, kebebasan media
massa digunakan untuk mengambil kembali kebebasan bangsa yang telah
direnggut oleh kebebasan korupsi dengan segala cara tanpa sadar
kebebasan tersebut telah merusak kebebasan orang lain. Tindakan ini
menimbulkan pertanyaan tentang moral media massa dalam pemberitaan
korupsi.
Dalam
melakukan pemberitaan, media massa mempunyai aturan yang telah
sepakati bersama yaitu Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang No. 40
Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang Pers memberikan kita tiga
penjelasan tentang media massa sebagai pers.
- Pers menggunakan media massa dalam menyampaiakan informasi
- Pers bertugas berhak mendapatkan informasi dan berkewajiban menyampaikannya dengan menghormati nilai-nilai agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah
- Pers memiliki dan menaati kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah himpunan etika profesi wartawan.
Didalam
kode etik jurnalistik, terdapat aturan yang telah disepakati bersama
sebagai acuan untuk menjalankan tugas pers, dalam hal ini media massa
melakukan pemberitaan, khususnya pasal 2 dan pasal 3.
- Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran cara-cara yang profesional adalah:
- menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
- menghormati hak privasi;
- tidak menyuap;
- menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
- rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi
- dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
- menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto,
- suara;
- tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
- penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
- investigasi bagi kepentingan publik.
- Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.Penafsiran:
- Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
- Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
- Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
- Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pada
kasus Nazaruddin, media massa melakukan pemberitaan besar-besaran
yang menarik perhatian yang kemudian menarik menarik nama-nama yang
dianggap terlibat. Meskipun hal tersebut berupa anggapan, namun
nama-nama tersebut telah menjadi seorang koruptor dimata masyarakat.
Hal tersebut terjadi karena opini yang diberikan adalah opini media
massa yang belum melewati pengujian informasi check
and recheck sehingga
langsung melanggar prinsip asas praduga tak bersalah. Akibatnya
adalah nama-nama yang berada dalam informasi tersebut menjadi seorang
tertuduh tanpa bukti.
Pemberitaan
yang dilakukan oleh media massa pada kasus nazarudin juga terjadi
pada kasus korupsi yang lain. Kita semua sepakat bahwa tujuan media
massa untuk memberantas korupsi adalah sesuatu yang baik. Akan
tetapi, sesuatu yang baik belum tentu benar. Melakukan pemberitaan
dengan melanggar prinsip jurnalisme tidak hanya merugaikan pihak yang
diberitakan tapi juga merugikan masyarakat. Masyarakat jadi tidak
tahu membedakan yang benar dan yang salah. Media massa menjadi
menggampangkan kualitas informasi.
“If
the media are to be part of the democratic process because of their
role in the origination and circulation of information and opinion,
then the quality of that information and opinion is going to be a
vital issue. Quality here is meant in a typically ethical sense, so
that the ethics and the politics of the media are not really
different or separable issues. Ethical journalism serves the public
interest”9.
Masyarakat
butuh informasi berkualitas, dengan melupakan kualitas informasi maka
media tidak dapat dianggap melayani kepentingan publik. Jika media
tidak mampu melayani kepentingan publik maka media massa diangga
tidak bermoral. Mulai saat ini media massa harus menghadapi tantangan
berat. Tantangan
media massa Indonesia sekarang adalah bagaimana tetap memberikan
kemaslahatan buat publik dan tetap memberikan kontribusi berarti bagi
pemberantasan korupsi, tapi tanpa melupakan prinsip jurnalisme itu
sendiri.
Daftar Pustaka
- Dasar-Dasar Etika: Sebuah Pengantar Sangat Ringkas, http://www.yousaytoo.com/dasar-dasar-etika-sebuah-pengantar-sangat-ringkas/356972, 12 Januari 2012
- Hardiman, F. Budi. (2007) Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Kieran, Matthew. (2002). Media Ethic. New York: Routlegde.
- Magnis-Suseno, Frans. (1987). Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Jogjakarta: Kanisius.
- Racman, A. Etika Deskiptif Dan Etika Normatif. Jakarta: Universitas Mercu Buana.
- Wijayanto dan Zachrie, Ridwan (Ed.). (2002). Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
1
Frans Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral (Jogjakarta: Kanisius, 1987), Hlm. 21
2
Agus Sudibyo, Dilema Etis Kebebasan Media,
http://bataviase.co.id/node/854775,
14 januari 2012
3
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai
Nietzche (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), Hlm. 146
4
Dasar-Dasar Etika: Sebuah Pengantar Sangat Ringkas,
http://www.yousaytoo.com/dasar-dasar-etika-sebuah-pengantar-sangat-ringkas/356972,
12 Januari 2012
5
Ibid.
6
Loc. Cit., Hlm. 145-146
7
A. Racman, Etika Deskiptif Dan Etika Normatif (Modul II,
Etika Humas, Universitas Mercu Buana), Hlm 7.
8
Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed.), Korupsi Mengorupsi Indonesia:
Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), Hlm. 557
9
Matthew Kieran (Ed.), Media Ethic (New York: Routlegde,
2002), Hlm. 10
download di :
http://www.scribd.com/doc/92051077?secret_password=y9eh31jr3l4e5zsfiox
This entry was posted
at 5/02/2012 02:04:00 PM
and is filed under
Tugas Kuliah
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.