Ronggeng Dukuh Paruk (Resensi) : visual dan plot  

Posted by Ayub Wahyudi in

Ronggeng Dukuh Paruk – novel triologi karya Ahmad Tohari – menceritakan kisah dua insan, Rasus dan Srintil. Rasus adalah seorang pemuda yang berusaha mencari sosok seorang ibu yang tidak pernah dikenalnya sejak kecil kepada setiap wanita yang dikenalnya dan memilih hidup menjadi tentara. Srintil, gadis cantik si ronggeng muda, terkurung sebuah dilema, yaitu antara keakuannya sebagai seorang wanita dan kewajibannya sebagai seorang ronggeng dukuh paruk. Keduanya saling mencintai namun dengan caranya masing-masing. Rasus mencintai srintil dengan sebuah kesadaran pada satu kenyataan bahwa dia tidak mempunyai hak untuk memiliki Srintil karena dia adalah kepunyaan Dukuh Paruk sedangkan Srintil mencintai Rasus dengan menghadapi kenyataan Rasus tidak bisa mencintai seorang ronggeng yang merupakan milik semua laki-laki yang meliriknya. Mereka pun berpisah. Rasus meninggalkan Dukuh Paruk dan Srintil. Selama berpisah, mereka menjalani hidup masing-masing dan mendapatkan pengalaman yang membentuk pola pikir dan tindakan mereka. Hingga mereka berdua sadar tentang arti sebuah pilihan yang mereka ambil dan kosekuensi yang mereka terima. Mereka dipertemukan kembali dalam kesadaran yang sama yaitu tentang apa yang seharusnya mereka lakukan dari dulu. Srintil sadar bahwa menjadi ronggeng justru menghalangi dirinya menjadi wanita yang sebenarnya, menikah dan mempunyai anak. Dan ketika mencoba untuk keluar, beban tanggung jawab sebagai sebagai ronggeng selalu membuat Srintil tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah sedangkan Rasus sadar bahwa dia hanya membenci ronggeng bukan Srintil . Kedua bentuk kesadaran tersebut akhirnya bersatu dan membentuk satu penyesalan yang bukan hanya untuk Rasus atau Srintil tapi juga untuk semua orang-orang yang ada di Dukuh Paruk.
Novel triologi ini sebenarnya mengangkat tema sosial budaya, yaitu bagaimana sebuah kampung kecil dan masyarakatnya yang terpencil berusaha menjawab tantangan jaman dengan tetap menjadi menjaga kepakeman yang telah ada. Kebodohan yang lugu, komersialisasi erotisme, sosial-cultural yang sederhana, romantisme yang melankolis dan paham dinamisme serta hal-hal mistis dibalut dengan latar – sebelum, selama dan setelah – kejadian pergerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) meletus, antara 1964 – 1966. Namun tema yang sangat terasa adalah tema tentang keindahan alam. Hal ini terwakili oleh narasi visualisasi tentang alam Dukuh Paruh. Hasilnya adalah imajinasi dituntun untuk membentuk suatu dunia maya dalam alam bawah sadar hingga seolah-olah kehidupan – bahkan perasaan para tokoh dalam novel – menjadi konkrit.
Kemampuan Ahmad Tohari, penulis novel ini, untuk menancapkan visual ke alam imajiner dengan memnggunakan kata-kata yang mengalir dan tepat selalu menjadi daya tarik pada setiap novel yang ditulisnya. Namun daya tarik itu bisa berubah menjadi paragraf yang hambar dan tanpa arti sama sekali jika konteksnya tidak berhubungan dengan jalan cerita. Hal tersebut terbukti dari visualisasi alam yang selalu diselipkan pada setiap pembukaan cerita dalam novel triologi ini. Narasi visualisasi tersebut hanya menjadi sekedar penghias yang menambah jumlah kata atau paragraf dan tidak memberikan kontribusi atau dukungan untuk memperkuat cerita. Namun lain halnya jika narasi visualisasi di dalam cerita ini digunakan untuk memberikan penekanan yang lebih dalam cerita maka dapat dipastikan suasana dalam cerita dan perasaan tiap-tiap tokoh akan lebih kuat sehingga mampu menggapai alam imajinasi dengan lebih baik.

 
Satu lagi masalah utama dari novel triologi ini adalah plot yang tidak jelas. Plot adalah sesuatu yang mutlak dalam menulis cerita karena berhubungan dengan konflik dan penyelesaian cerita tapi sepretinya hal itu tidak diperhatikan dengan seksama oleh penulis. Novel pertama memusatkan plot pada tokoh Rasus, novel kedua pada tokoh srintil dan novel ketiga berusaha menggabungkan plot kedua tokoh tapi gagal. Hal ini dikarenakan adanya kerancuan tentang siapa yang menajdi tokoh utama. Pada novel pertama, dengan jelas menyebutkan bahwa cerita ini tentang kisah Rasus namun pada novel kedua dan ketiga tokoh Srintil malah menjadi lebih dominan tanpa adanya cerita yang berisikan penjelasan sejak kapan Srintil mengambil alih tokoh utama. Hal ini akhirnya berdampak pada penyelesaian cerita. Kerancuan plot ini menyebabkan kebingungan tentang plot tokoh mana yang telah selesai hingga timbul pertanyaan siapa sebenarnya yang menjadi tokoh utama.

This entry was posted at 11/10/2010 10:22:00 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar