Bahan:
1. Katrin Voltmer, Mass Media and Political Communication in New Democracies, hlm. 1-16;
2. Karin Wahl Jorgensen, The Handbook of Journalism Studies, Part 17: Journalism and Democracies, hlm. 237-249;
3. Kevin T Leicht, Handbook of Politics, Chapter 24: Democracy and Democratization, hlm 441-458.
Perkembangan media massa dalam demokrasi perlu dipahami lebih jauh. Hal ini disebabkan oleh kondisi dimana transisi demokrasi telah berada pada “gelombang ketiga” yang disebut sebagai akhir dari demoratisasi. Hal ini terkait dengan proses demokratisasi pada setiap negara yang berada dalam gelombang ini tidak menunjukkan kondisi-kondisi yang bisa disebut demokrasi. Konsep demokrasi adalah sebuah sistem pemerintah yang mempertemukan kondisi-kondisi berikut :
1. Kompetisi antara kelompok, khususnya partai politik, yang luas dan bermakna
2. Partisipasi politik tingkat tinggi
3. Kebebasan sipil dan politik, salah satunya kebebasan pers atau media massa
Dengan kata lain, seharusnya proses demokratisasi bertransisi menuju arah pencapaian untuk mempertemukan kondisi-kondisi tersebut akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya .
Jika kondisi tersebut tidak tercapai maka media massa – dalam pencapaian kondisi kebebasan pers – akan sangat mendapatkan pengaruh yang signifikan terhadap peran dan posisinya dalam demokrasi. Pada masa otoritarian, media dianggap berperan jika mempunyai kemampuan untuk dapat melakukan kendali pada masyarakat . Pada masa tersebut, para elit kekuasaan sudah menyadari kemampuan tersebut. Hal ini menjadi signifikan karena kemampuan tersebut masih dibawah pada transisi demokrasi. Pertama, Transisi dari otoritarian ke demokrasi memang membutuhkan orientasi peran radikal yang baru dan aturan intraksi dalam system komunikasi baru, meskipun dalam banyak kasus aktor yang terlibat berasal dari organisasi atau individu dari rezim sebelumnya . masa transisi demokrasi dianggap tetap berasal dari para pergerakan elit politik, “no bourgeoisie, no democrazy” , sehingga demokratisasi hanya bergerak menuju semi demokrasi . Kedua, kondisi semi demokrasi secara langsung membuat media menjadi semi bebas dalam melakukan fungsi informatifnya terhadap masyarakat. Kualitas dari demokrasi dapat dilihat dari masyarakat yang mendapatkan informasi dengan baik dari media . Dengan kata lain, media massa yang setengah bebas akan menghasilkan demokrasi dengan kualitas yang buruk.
Media massa adalah institusi demokrasi. Melaksanakan fungsi informatif dengan bebas adalah salah satu “pertanda” bahwa transisi demokrasi berhasil mencapai tujuan. Hubungan media massa dan demokratisasi terletak pada praktek komunikasi politik – produksi dan resepsi pesan politik . Konsep komuniaksi politik adalah sebuah sistem dinamis antara media massa, aktor politik dan khalayak yang terlibat dalam memproduksi, menerima dan mengartikan pesan politik . Kondisi dinamis komunikasi politik adalah wadah peran demokrasi dijalankan. Akan tetapi jika aktor politik hanya menghasilkan pesan untuk kepentingan diri – dominasi elit – lalu media massa, yang seharusnya bisa sebagai watch dog – pilar keempat demokrasi – atas akutabilitas pesan tersebut, mementingkan logika media untuk mempertahankan eksistensinya ditambah audience dengan pergerakan pemberontakan yang kurang informasi. Maka komunikasi politik hanya menjadi wadah untuk peran semi demokrasi.
Selama ini fokus demokrasi adalah pemilu yang bebas dan adil sebagai awal dari demokrasi tapi ternyata itulah puncak dari demokrasi itu sendiri . Kesalahan ini dapat menghasilkan berbagai macam istilah yang kontradiktif: delegative democrazy, electoral democrazy atau electoral democrazy. Seluruh istilah tersebut adalah istilah lain dari semi demokrasi. Negara yang menganut kesemua istilah tersebut disebut sebagai negara di zona abu-abu, Indonesia adalah salah satunya .
Salah satu ide demokrasi adalah pembagian kekuasaan, yang dikenal dengan tiga pilar – legislatif, eksekutif dan yudikatif – akan tetapi ketiga pilar tersebut hanya sekedar alat dominasi elit politik sehingga dibutuhkan pilar keempat, yaitu media massa. Akan tetapi media massa telah memilih jalannya sendiri untuk menjadi alat dominasi elit politik. Jika semua pilar yang seharusnya menopang demokrasi malah membuat demokrasi menjadi rapuh maka pertanyaan apakah diperlukan pilar kelima. Meski masih dalam perdebatan, humas politik – manajemen hubungan antara politisi dan khalayaknya – menjadi sub-set sistem komunikasi politik di abad kedua puluh yang diusulkan sebagai pilar kelima dan berkembang bersama pilar keempat – media massa . Kemunculannya terkait dengan kemampuan humas politik untuk “memutar” norma lapisan masyarakat. Walaupun mendapat perdebatan namun kemampuan tersebut secara logis untuk menciptakan demokrasi yang termediasi yang memfasilitsi elit komunikasi massa demi kepentingan proses demokrasi .
Dengan melihat semua masalah demokrasi yang ada – semi demokrasi, media massa semi bebas dan masyarakat semi informasi – kita tiba pada kesimpulan bahwa hubungan media massa dan demokrasi adalah satu arah dan bersifat merugikan. Media massa sebagai pilar keempat yang harusnya mengawasi – watch dog – elit politik malah mengacuhkan peranan tersebut. Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah dimana posisi media massa dalam demokrasi.
This entry was posted
at 3/15/2011 08:30:00 AM
and is filed under
Tugas Kuliah
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.
Pengikut
penulis
- Ayub Wahyudi
- DKI Jakarta, Jakarta Timur, Indonesia
- saya memiliki prinsip hidup "MASA BODOH". apapun yang saya lakukan, proses yang penuh dedikasi lebih penting daripada hasil tanpa arti. ............................................................ lahir dibawah konstelasi virgo [bintang utama dengan elemen udara dan dibawah pengaruh venus] dan tersisip sifat ular kayu. ................................. aku percaya, aku punya semesta sendiri.
Label
- aksara rasa (27)
- Curhat (1)
- Pramuka (1)
- Tugas Kuliah (48)