Bahan Review :
Kevin T Leicht, Handbook of Politics, Chapter 6: Power, Politics and Civil Sphere, hlm. 111-126
Dan
Jonathan Woodier, The Media and Political Change in Southeast Asia, hlm. 55-86.
Politik adalah salah satu kekuatan sosial yang sekarang ini diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk mampu menentukan posisinya sendiri agar nantinya bisa menjalankan keinginannya tanpa harus menghiraukan semua resistensi yang ada pada lingkungan sosial. peru kita sadari, ada sebuah perubahan yang muncul akibat dampak dari masyarakat kontemporer. Politik yang dulunya bersifat tidak personal dan mengandalkan birokrasi untuk melaksanakan prosesnya dipaksa menjadi lebih personal dam mengandalkan persuasive, hal ini disebut dengan politik modern.
Dampak pasti dari politik modern adalah munculnya cara baru dalam melaksanakan otoritas dan mendapatkan legitimasi. Lingkungan sipil yang dulunya dianggap sebagai objek politik beralih menjadi subjek politik dengan segala kemampuan untuk mendukung atau menjatuhkan. Media informasi menjadi lebih signifikan dari pada pemerintah atau penguasa, dimana media telah menjadi agen sosialisasi di lingkungan sipil. Dengan kata lain semua proses politik yang sekarang harus lebih dekat kepada media untuk bisa dekat kepada lingkungan sipil. Tindakan ini lebih dikenal dengan politik pecitraan dimana para elit politik lebih mengandalkan wibawa dan karisma serta pemahaman yang komperhensif tentang kebudayaan dimana mereka berada yaitu lingkungan sipil dengan masyarakat kontemporer
Namun masalah sebenarnya terletak pada posisi media. meskipun dimanfaatkan sebagai alat pencitraan dalam politik modern tapi tidak berarti media mendukung para elit politik modern. Masyarakat media – jurnalis dan industri media – saat ini selalu berusaha memberikan kritis terhadap tindakan elit politik. Dalam persepsi politik modern, media adalah pedang bermata dua bagi pemiliknya.
Media dengan pengaruhnya adalah hal yang menjadi pembahasan wacana tentang keterlibatannya terhadap perubahan politik, khususnya di asia tenggara. Asia tenggara adalah wilayah regional yang baru merdeka dan berkembang. Meskipun mendapatkan pengaruh dari krisis moneter pada 1998-2002. Hampir semua Negara bisa bangkit lagi. Termasuk media informasinya – media massa. Perkembangan mereka didasari pada keinginan untuk berlomba dan menjadi pemenang dalam memegang akses informasi. Sejak masa paska colonial, media telah dijadikan alat untuk mengubah politik kolonial menjadi politik demokrasi, meskipun baru di wakilkan pada Pelaksanaan pemilihan umum.
Konsep demokrasi didasarkan pada kebebasan berkumpul dan berpendapat, kompetisi partai politik, kebebasan media dan aturan hukum yang mengaturnya. Selama ini kebangkitan industri media massa di asia tenggara dianggap sebagai pertanda baik akan munculnya kebebasan media dalam menyediakan informasi bagi masyarakat. Namun bisa dikatakan ramalan tersebut meleset dengan sangat jauh. Bukti yang ada saat ini adalah media massa tidak memiliki kebebasan. Penyebabnya adalah kebijakan politik Negara yang mengatur “kebebasan” media massa dan konglomerasi kepemilikan media massa yang memasukkan idealisme dan kepentingan individu atau institusi tertentu. Media elektronik maupun cetak seperti televisi hanya mampu menayangkan apa yang pemilik modal inginkan. Belum lagi masalah HAM bagi para jurnalis dan press. Kekerasan yang mereka alami adalah bukti jelas bahwa demokrasi yang berada regional asia tenggara hanya sebatas kertas kado yang membungkus dengan cantik kegoisan elit politik dan Negara.
Pemahaman yang mendasar atas makna politik dan demokrasi akan membuat kita mampu menancapkan posisi media massa ditempatnya semula dengan kuat. Politik modern, dengan segala wibawa dan kharisma, membutuhkan media untuk mampu lebih dekat kepada masyarakat kontemporer. Media massa sebagai alat persuasive yang efektif adalah persepsi para elit politik modern. Begitupun dengan demokrasi yang diagungkan oleh mereka. Ketidakbebasan dan kekerasan serta penindasan terhadap media akan selalu menjadi bukti bahwa demokrasi hanya sekedar pencitraan. Media massa memang mengalami dilema. Persepsi sebagai salah satu pilar demokrasi dengan segala kemampuan yang diharapkan oleh lingkungan sipil untuk mengawasi – the watchdog – malah harus melayani keinginan dan ego kebijakan Negara, dianggap sebagai alat sosialsasi paling efektif untuk menjalankan fungsi pendidikan tapi ternyata menjadi tempat informasi picisan yang tidak berguna sama sekali karena turut oleh ego para konglomerat yang menyediakan dana untuk operasional.
This entry was posted
at 3/15/2011 08:20:00 AM
and is filed under
Tugas Kuliah
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.
Pengikut
penulis
- Ayub Wahyudi
- DKI Jakarta, Jakarta Timur, Indonesia
- saya memiliki prinsip hidup "MASA BODOH". apapun yang saya lakukan, proses yang penuh dedikasi lebih penting daripada hasil tanpa arti. ............................................................ lahir dibawah konstelasi virgo [bintang utama dengan elemen udara dan dibawah pengaruh venus] dan tersisip sifat ular kayu. ................................. aku percaya, aku punya semesta sendiri.
Label
- aksara rasa (27)
- Curhat (1)
- Pramuka (1)
- Tugas Kuliah (48)