Makalah Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Semiotika Media
“SUNNI: MITOS SEBUAH NAMA”
(Analisis Mitologi Barthes)
Oleh:
Ayub
Wahyudi
209000012
Ilmu
Komunikasi
Kajian
Media
Universitas
Paramadina
Jakarta
2011/2012
Abstrak
Pergeseran genre musik pop telah terjadi di
Indonesia, yaitu dari musik melayu ke arah K-Pop (Korean Pop). Dalam
pemahaman semiotika, terjadinya pergeseran ini juga berarti
terjadinya pergeseran tanda. Fenomena ini diikuti dengan munculnya
pencari untung yang ingin sukses dengan memanfaatkan demam K-Pop ini.
Salah satunya adalah munculnya sebuah Girl Band yang bernama “Sunni”.
Melihat nama yang digunakan, kita akan langsung teringat salah satu
kelompok dalam Islam, yaitu Kelompok Sunni. Tidak hanya nama yang
memiliki kesamaan, akan tetapi tanda yang dibawa kelompok Girl Band
ini juga berupa Identitas keislaman yang umum yaitu Jilbab. Mitologi
Roland Barthes menjelaskan bahwa Mitos adalah sebuah tanda yang
berada pada bentuk sistem kedua atau lebih dikenal dengan istilah
konotasi. Penulisan ini ingin mengkaji apakah nama “Sunni” telah
menjadi mitos dari kelompok islam aliran sunni dan mitos ini dibentuk
oleh kelompok Girl Band “Sunni” dengan sadar.
Kata kunci: sunni, mitos, semiotika, mitologi, Roland
Barthes.
Pendahuluan
Fenomena
demam K-Pop telah menjadi sebuah trend di Indonesia. Seperti semua
genre sebelumnya, K-Pop telah memberikan dampak pada kehidupan sosial
dan individu masyarakat Indonesia, baik dari segi sosial, ekonomi
bahkan budaya. K-Pop telah menjadi budaya populer yang memberikan
celah bagi beberapa pihak. Dalam dunia industri musik Indonesia, ini
merupakan kesempatan yang menguntungkan. Respon pun mulai
berdatangan, salah satunya adalah munculnya Boy dan Girl Band yang
bergenre K-Pop.
Kemunculan
Boy dan Girl Band yang bergenre K-Pop ini pada awalnya bersifat
diaspora hingga beberapa media massa memutuskan untuk mewadahi
mereka. Salah satunya adalah stasiun TV Nasional SCTV. Mereka membuat
sebuah program ajang kompetisi yang berjudul “Boy and Girl Band
Indonesia” atau sering diseingkat BGBI-SCTV. Program ini mulai
perdana sejak November 2011. Putaran Finalnya diputar perdana pada
26-27 November 2011. Selain SCTV, Stasiun TV Indosiar juga memutuskan
melakukan hal sama. Akan tetapi, program yang dibuat SCTV mendapat
perhatian yang lebih karena munculnya sebuah Girl Band unik yang
bernama “Sunni”. Keunikan mereka berasal dari penampilan mereka
di atas panggung. Girl Band ini selalu tampil dengan menggunakan
Jilbab.
Dalam
Ajang BGBI-SCTV, Putaran Final terdiri dari 8 Boy dan Girl Band,
yaitu; Cantik (Yogyakarta), Hunter Boyz (Bandung), Sunni (Gresik),
Injecxion (Jakarta), Queenera (Surabaya), Raise (Jakarta), Kirei
(Bandung) dan Sugar Free (Bandung). Ajang ini terdiri beberapa,
yaitu; Melly goeslaw, Dewi sandra, Maia Estianty, dan Kevin Aprilio.
Para juri dapat memilih boyband atau girband tersebut sebagai anak
asuh yang nantinya akan dilatih kemampuan vokal ataupun
koreografinya. Sunni sendiri merupakan asuhan oleh Dewi sandra.
Sunni, sekumpulan pelajar putri dari SMAN 1 Sedayu
(Sidayu) Gresik yang memang murid-murid putrinya diharuskan
memakai jilbab1.
Selain penggunaan jilbab dalam setiap penampilan mereka diatas
panggung, nama Sunni sendiri menjadi sebuah perhatian tersendiri.
Sunni merupakan nama sebuah nama kelompok aliran dalam agama Islam.
Hal ini menjadi sesuatu yang menarik karena mereka menggunakan kata
Sunni sesuai dengan ejaan yang telah baku di Indonesia meskipun
ucapannya masih menggunakan aksen Sunny dalam bahasa inggris.
Dalam semiotika Roland Barthes, sebuah pertanyaan dapat muncul dari
keberadaan, yaitu; apakah kata sunni menjadi sebuah mitos yang
merupakan konotasi dari nama sunni yang merupakan salah satu kelompok
islam atau hanya sebuah meta-bahasa yang bermakna “cerah”
(sunny). Penjelasan ini nantinya juga berusaha menjawab tujuan
dari hadirnya Girl Band ini. Apakah ada kaitannya dengan kelompok
Sunni atau nama itu diambil sebagai tujuan dari Girl Band ini untuk
selalu cerah dalam setiap penampilannya. Sebelumnya penulis akan
menjelaskan tentang Roland Barthes dan Mitologinya.
Roland
Barthes: Mitos, Semiologi dan Mitologi
Roland
Barthes adalah tokoh pemikir semiotik yang fokus dalam mengembangkan
pemikiran Ferdinand de Saussure. Barthes lahir pada 1915 dari
keluarga kelas menengah protestan di Cherbough dan dibesarkan di
Bayonne, kota kecil dekat Pantai Atlantik di sebelah barat daya
Prancis. Dia meninggal pada 1980 karena ditabrak mobil, sebulan
setelah dia diangkat menjadi profersor “semiologi literer” di
College de France. Barthes telah menulis banyak buku, yang
beberapa diantaranya, telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi
semiotika di Indonesia. Buku yang mendapat banyak sorotan adalah
mythologies (mitologi-mitologi) (1957).2
Teori
semiotik Barthes secara harafiah diturunkan dari teori bahasa de
Saussure. De Saussure menurukan empat konsep teoritis, yakni konsep
langue-parole, signifiant-signifie, sintagmatik-paradigmatik,mdan
sinkroni-diakoroni. Dalam teori semiotika Barthes, dia mengembangkan
konsep sintagmatik-paradigmatik yang nantinya menjelaskan konsep
mitos dan menjadi mitologi. Konsep ini menjelaskan tentang hubungan.
Dalam pemikiran Barthes, berarti hubungan antar tanda. Tanda di
analisis dengan pandangan sintagmatik dan paradigmatik yang kemudia
dikembangkan dengan bericara tentang sintagme dan sistem sebagai
dasar menganalisis kebudayaan sebagai tanda.3
Hubungan sintagmatik mencoba menjelaskan tanda sebagai sebuah susunan
yang tersusun dari sesuatu yang disebut sintagme yang pada akhirnya
membentuk sistem. Sintagme merupakan susunan yang bersifat linear
antar tanda yang telah tersusun ditempatnya masing dan memberikan
makna tersendiri. Berarti jika kita merubah susunan tersebut maka
maknanya akan berubah. Terbentuknya susunan ini karena tiap sintagme
telah memiliki relasi yang membuatnya memiliki posisi dalam sebuah
hubungan. Setiap bentuk dari kelompok memiliki relasi tertentu, baik
relasi persamaan maupun relasi perbedaan, yang semuanya terjadi dalam
ingatan manusia. Jaringan relasi ini disebut sistem4.
Pemahaman pada konsep sistem ini pada nantinya akan menjelaskan
tentang proses terbentuk mitos. Menurut Barthes, keberadaan mitos
adalah sistem sekunder yang disebut second-order semiological
system. Inilah yang menjadi pengembangan Barthes terhadap teori
linguistik de Saussure.
Dalam menjelaskan mitologi sebagai sistem sekunder maka kita harus
memahami sistem primer terlebih dahulu. Kita dapat memulainya dari
konsep tanda yang diperkenalkan oleh Barthes. Bagi Barthes, merupakan
asosiasi dari penanda dan petanda. Ketika petanda dibaca atau
dimaknai oleh penanda maka keduanya akan menghasilkan tanda dan tanda
tersebut memiliki makna denotatif. Inilah yang disebut dengan sistem
primer. Didalam sistem ini, terdiri dari Petanda; yang merupakan
konsep atau isi, penanda; yang disebut sebagai gambar mental atau
ekspresi dan tanda; yang merupakan sebuah kata yang merupakan hasil
asosiaso dari petanda dan penanda. Sistem sekunder merupakan
perkembangan dari sistem primer. Akan tetapi, secara linguistik,
penanda dan petanda mempunyai kemampuan berkembang atau
berartikulasi. Mengacu pada Hjelmslev, Barthes sependapat bahwa
bahasa dapat dipilih menjadi dua artikulasi5:
|
E
|
C
|
|
|
|
E
|
C
|
Objek Bahasa
|
|
E
|
C
|
|
E
|
C
|
Meta bahasa
|
Kita anggap penanda adalah (E) dan petanda adalah (C) dengan kata
lain Tanda adalah EC. EC ini dapat berkembang menjadi E atau C.
Dengan kata lain tanda mempunyai dua sudut artikulasi yang
masing-masing merupakan sistem sekunder. EC yang berkembang menjadi E
mengartikulasikan sebuah objek bahasa dan EC yang berkembang menjadi
C mengartikulasikan Meta-Bahasa. Dengan kata lain mitos sebagai
sistem sekunder dapat berupa objek bahasa karena dengan menjadi
sebuah objek, mitos dapat bertahan untuk membentuk sistemnya sendiri.
Dan, mitos dapat berupa meta-bahasa karena merupakan bahasa kedua
yang menjelaskan bahasa pertama. Dengan kata lain, mitos sebagai
meta-bahasa mempunyai E yang berbeda tapi dengan C yang sama dan
mitos sebagai objek bahasa mempunyai E yang sama dengan C yang
berbeda. Akan tetapi, mitos yang menjadi meta-bahasa tidak terlalu
menjadi perhatian para ahli semiologi karena dapat dengan sederhana
dibaca tanda denotatifnya, berbeda dengan mitos sebagai objek bahasa
karena kemungkinan subjeknya sangat tidak terbatas.
Untuk lebih memahami mitos sebagai sistem sekunder maka kita harus
memahami peta tanda Barthes. sebenarnya barthes lebih sering
mengucapkan istilah penanda, petanda dan tanda dari pada menggunakan
istilah yang lain. Pada sistem pertama; penanda dan petanda membentuk
tanda dengan makna denotatif. Pada sistem kedua, proses yang sama
terjadi. Akan tetapi, sebagai objek bahasa maka tanda yang merupakan
hasil penanda dan petanda sistem pertama berubah menjadi penanda pada
sistem kedua dan menghasilkan tanda dengan makna konotatif. Secara
sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
-
PenandaPetanda
Tanda
PMITOS
ETANDA
PENANDATANDA
Dalam
artikulasi mitos sebagai objek bahasa, tanda sistem pertama merupakan
penanda pada sistem kedua. Penanda mempunyai sifat duplisitas.
Penanda yang bersifat penuh karena merupakan tanda pada sistem
pertama dan penanda yang bersifat kosong karena telah menjadi bagian
dari sistem kedua. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa defenisi
mitos. Menurut Barthes, mitos adalah sistem tanda dengan makna
konotatif yang terbentuk pada tataran kedua yang merupakan asosiasi
dari penanda yang menjadi tanda dengan makna denotatif pada tataran
pertama dan petanda baru.
Seringkali penggunaan istilah membuat kita sedikit bingung. Untuk
mempermudah penggunaan istilah antara penanda, petanda dan tanda pada
sistem primer dan sistem sekunder maka Barthes menggunakan istilah
tertentu sebagai berikut6:
-
PenandaPetandaTandaSistem primerMaknaKonsepTandaSistem sekunderBentukKonsepSignifikansi
Penanda
disebut makna pada sistem primer dan disebut bentuk pada sistem
sekunder. Petanda disebut konsep pada kedua sistem karena memang
tidak berubah sebab mitos sebagai objek bahasa. Tanda disebut sebagai
tanda pada sistem pertama dan signifikansi pada sistem kedua. Dengan
menggunakan istilah Barthes diatas maka kita dapat menjelaskan
kembali dengan mudah tentang apa itu mitos. Pada sistem pertama,
asosiasi meaning dengan konsep akan menghasilkan tanda
dengan makna denotatif. Pada sistem kedua, tanda berubah menjadi form
yang kemudian berasosiasi dengan konsep dan menghasilkan
signifikansi dengan makna konotatif. Demikianlah Barthes
memahami mitos sebagai sistem semiologika sekunder dan menjadi bagian
dari ilmu semiotika yaitu mitologi.
Membaca
Sunni: Mitos dari sebuah nama
Dalam
membaca sebuah mitos, kita harus fokus pada duplisitas penanda, yaitu
sebagai makna dan bentuk. Barthes menghasilkan tiga tipe pembacaan
mitos yang berbeda dengan fokus pada meaning, atau pada bentuk atau
keduanya pada waktu yang bersamaan7.
- Jika kita fokus pada penanda yang kosong. Maka kita akan membiarkan konsep mengisi bentuk tanpa adanya ambiguitas, dan kita dapat menemukan sebuah sistem sederhana dimana signifikansi menjadi sesuatu yang gamblang. Tipe dengan fokus ini adalah untuk mengetahui pembentukan mitos dengan berawal dari sebuah konsep dan mencari sebuah bentuk untuk konsep tersebut. Dengan kata lain, tipe ini membantu kita untuk membaca bagaimana sebuah mitos dibuat.
- Jika kita fokus pada penanda yang penuh, dimana kita dapat membedakan dengan jelas antara makna dan bentuk, dan dengan dampak distorsi dimana yang satu menekan yang lain, kita membatalkan signifikansi mitos, dan menerima yang terjadi kemudian sebagai sebuah penipuan. Tipe fokus ini adalah untuk ahli mitologi yang menguraikan mitos dan memahami sebuah distorsi. Tipe ini telah melihat bahwa sebuah mitos terjadi karena karena distorsi konsep.
- Yang terakhir, jika kita fokus pada penanda mitos seperti sesuatu yang tidak terhindarkan yang keseluruhan tercipta dari makna dan bentuk, kita menerima signifikasi yang ambigu: kita merespon pada penyusunan mekanisme mitos, pada dinamikanya, kita menjadi pembaca mitos.
Tipe fokus pembacaan pertama dan kedua sangat statis, analitis;
mereka yang menghancurkan mitos, membuat maksud mitos itu menjadi
jelas, atau membuka topeng mitos tersebut; yang pertama bersifat
sinis, yang kedua lebih bersifat mengungkap. Tipe fokus pembacaan
ketiga lebih dinamis, tipe ini memanfaatkan mitos sampai habis pada
strukturnya: pembaca menghidupkan mitos sebaai sebuah cerita yang
benar dan tidak nyata.
Pada kasus sunni, kita dapat membaca mitos ini
dengan menggunakan tipe yang kedua. Mitos
Sunni kita sadari sebagai sebuah distorsi karena sunni tidak lagi
menjadi bahasa dengan makna dan konsep yang seharusnya akan tetapi
telah berubah menjadi bentuk dengan konsep yang berbeda dan
menghasilkan signifikansi yang merupakan mitos. Dapat kita lihat
bahwa pada sistem primer, Sunni mempunyai makna denotatif yaitu
sebuah kelompok aliran dalam Islam. Akan tetapi, pada sistem sekunder
sunni menjadi sebuah penanda yang penuh karena telah telah menjadi
bentuk dengan konsep yang memberikan makna konotatif sebagai sebuah
girl band bergenre K-Pop. Dengan kata lain, sunni menjadi
signifikansi yang dapat dibatalkan sebagai mitos karena distorsi yang
terjadi dapat terlihat. Yaitu dari sunni yang merupakan kelompok
islam menjadi sunni yang kemudian merupakan girl band. Dalam peta
tanda, distorsi dapat digambarkan sebagai berikut dapat digambarkan
sebagai berikut:
-
Makna: Sebuah Aliran IslamKonsep: Kelompok agama
Tanda: Sunni (denotatif: kelompok aliran Islam)
Bentuk: Sunni (denotatif: kelompok aliran Islam)Konsep: ?Signifikansi: Sunni (konotatif: Girl Band Bergenre K-Pop)
Tabel diatas membuat kita dapat membaca mitos yang telah ada. Kita
telah tahu bahwa mitos ini tejadi karena adanya distorsi. Kita
membaca mitos ini dengan tujuan untuk membatalkan terbentuknya
signifikansi. Ada dua alasan kita harus menghalangi terbentuknya
signifikansi:
- Kita harus mengingat bahwa signifier mempunyai sifat duplisitas, yaitu dapat menjadi makna dan bentuk disaat yang sama. Ketika tanda menjadi sebuah bentuk maka kita hanya tinggal menunggu sebuah konsep yang nantinya menjadi sebuah bentuk konotasi baru dari makna konotasi yang telah menjadi denotasi. Dengan demikian sunni dapat menjadi mitos baru.
- Kita harus memahami bersama sama bahwa konsep yang telah mengisi bentuk dan menghadirkan signifikansi mitos. Dapat dikatakan konsep merupakan penentu dalam terbentuknya mitos. Maka kita kita akan sadar bahwa konsep adalah sesuatu yang melatarbelakangi kelompok girl band sunni menggunakan nama sunni.
Dengan demikian kita harus mencari konsep kelompok sunni.
Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kelompok girl band sunni
merupakan pelajar dari SMAN 1 Sidayu, Gresik. Sekolah ini mewajibkan
Siswinya untuk berbusana jilbab. Mayoritas penduduk Kec. Sidayu yang
berada Kab. Gresik, hampir 100% memeluk agama islam dan berafiliasi
dengan berbagai organisasi islam seperti Muhammdiyah dan NU8.
Bukan hanya itu, gresik merupakan tempat yang terkenal dengan
konveksi Jilbabnya. Belum lagi kewajiban siswi SMAN 1 Sidayu untuk
menggunakan jilbab Hal ini menjawab kenapa girl band sunni
mempertahankan jilbab mereka pada saat tampil diatas panggung tapi
tidak menjawab penggunaan nama Sunni itu sendiri. Dari data yang ada,
menyatakan bahwa dari 85% pemeluk agama islam di Indonesia, 98%
adalah penganut Sunni9.
Sehingga besar kemungkinan adanya pengaruh kelompok aliran Sunni
dengan penggunaan nama tersebut.
NU
(Nahdlatul Ulama) mempunyai peran penting dalam berkembangnya aliran
Sunni. Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) merupakan salah satu organisasi keagamaan
di Indonesia yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh ulama
yang berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah atas prakarsa KH Hasyim
Asy’ari, oleh pendirinya organisasi ini disingkat NU. NU didirikan
sebagai wadah untuk mempersatukan diri dan langkah didalam tugas
memelihara, melestarikan, mengemban, dan mengamalkan ajaran Islam
yang mengikuti salah satu empat mazhab dalam rangka mewujudkan Islam
sebagai rahmat bagi semesta alam (PBNU, 2000 : 21)10.
Wajah
Sunni NU sangat dipengaruhi paradigma Ahlussunnah waljamaah (Aswaja)
KH Hasyim Asy’ari. Penelitian yang dilakukan Dr H Achmad Muhibbin
Zuhri MAg untuk disertasi program doktoralnya menemukan, corak Sunni
KH Hasyim Asy’ari sangat khas dan tidak sebangun persis dengan
konstruksi Sunni era awal. Meski demikian, dalam banyak hal, ideologi
yang dibangun Mbah Hasyim tetap mencerminkan pola ajaran Sunni11.
Dengan kata lain NU, bukan hanya berperan dalam perkembangan sunni
tapi juga merupakan tempat ajaran sunni berkembang.
Perkembangan
politik di Timur Tengah yang terjadi di awal abad ke-20 ditandai
dengan tampilnya tokoh-tokoh Islam penganut Ajaran Abdul Wahab dengan
ajarannya yang terkenal “Aliran Wahabi”, yakni berubahnya sistem
pemerintahan di Turki dari kesultanan ke sistem kerajaan di bawah
pimpinan Mustafa Kemal (penganut Wahabi), dan berdiri serta
berpengaruhnya pemerintahan golongan Wahabi dibawah kepemimpinan Raja
Ibnu Sa’ud di Jazirah Arab dan kota Mekkah. Pada masa Raja Sa’ud
ini berkuasa, ia melakukan gerakan-gerakan modernisme Islam secara
radikal terhadap tatanan keagamaan dan masyarakat Islam di kawasan
itu, termasuk adanya upaya-upaya melakukan perombakan terhadap
kuburan empat imam (Sayafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi) yang
terletak di sekitar Ka’bah. Selain itu reaksi para ulama penganut
Ahlussunah wal Jama’ah terhadap pemerintahan kaum Wahabi saat itu,
adalah karena dikahawatirkan kaum Wahabi tidak memberi kebebasan bagi
masyarakat untuk melakukan ibadah sesuai dengan tradisi atau ajaran
salah satu dari empat mazhab (Laode, 1996 : 2). Gerakan itu
diwariskan oleh seseorang yang bernama Abd Al-Wahab (1073-1787), yang
berupaya melakukan pemurnian ajaran Islam, karena ia menganggapnya
bahwa ajaran Sufisme telah menciptakan kemerosotan di kalangan umat
Islam, telah menyelewengkan ajaran Islam, termasuk serangannya
terhadap ajaran-ajaran dari empat imam mazhab. Menurut kalangan
Wahabi banyak dari ajaran dari empat mazhab itu yang setelah
ditelusuri tidak terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadist, seperti
masalah taqlid
dan
ijtihad,
ziarah
kuburan, bacaan barzanji,
pemberian
pelajaran bagi jenazah yang baru meninggal (talqin),
soal selamatan bagi orang yang telah meninggal, dan lain-lain.
Tradisi semacam itu dianggap berdampak terhadap tingkat masalah
keimanan dan masalah-masalah keduniaan. Sebagai akibatnya umat Islam
menjadi terbelakang, tertinggal dari kemajuan yang dicapai dunia
Barat, karena penolakannya terhadap nilai-nilai modernisme12.
Dari
sejarah singkat diatas, dapat kita pahami sunni merupakan ajaran yang
menekankan pada penghormatan tradisi yang telah menjadi budaya
sendiri. Hal ini seperti yang dilakukan oleh para wali di jawa, islam
disebarkan dengan akulturasi budaya, sehingga praktek budaya tetap
ada tapi dengan konten islami. Hal inilah yang ditolak oleh kaum
wahabi karena menciptakan kemunduran rasonalisme. Akan tetapi jika
kita cermati bahwa sebenarnya, sunni berpotensi lebih progresif
karena mereka memanfaatkan akulturasi buday untuk menyebarkan dakwah.
Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh Girl Band Sunni, mereka
berusaha mengakulturasikan simbol Islam, yaitu jilbab, dengan
membawanya masuk pada budaya K-Pop yang saat ini tengah dominan.
Dengan demikian kita telah melihat alasan kuat tentang penggunaan
nama sunni. Jika kita tambahkan asumsi bahwa, selama ini tidak ada
satu pun kritik dari pemuka agama Indonesia tentang penggunaan jilbab
pada tatanan yang tidak seharusnya, maka alas an penggunaan sunni
tidak hanya sekedar dipilih secara acak atau memiliki arti sebagai
meta-bahasa dari Sunny.
Inilah konsep yang menciptakan distorsi pada bentuk sunni sebagai
penanda yang penuh.
Penutup
Sudah
jelas bahwa pemilihan nama Sunni sebagai nama kelompok girl band
Indonesia dengan genre K-Pop dapat menimbulkan kecurigaan. Sunni
telah menjadi mitos pada konsep mitologi Barthes, jika kita fokus
pada pembacaan sunni dengan penanda yang penuh maka artinya kita
sadar ada sesuatu yang memberikan distorsi kepada sunni sebagai nama
kelompok aliran islam. Konsep yang melatar belakangi terjadinya
distorsi berasal dari pemahaman kelompok sunni islam di Indonesia;
yaitu, Akulturasi Budaya. Dengan demikian kita dapat menjawab peta
tanda yang telah kita buat sebelumnya.
-
Makna: Sebuah Aliran IslamKonsep: Kelompok agama
Tanda: Sunni (denotatif: kelompok aliran Islam)
Bentuk: Sunni (denotatif: kelompok aliran Islam)Konsep: Akulturasi BudayaSignifikansi: Sunni (konotatif: Girl Band Bergenre K-Pop)
Mitos
terkadang bersifat sederhana dan tidak rumit. Akan tetapi, melakukan
kajian semiotika dengan makna, khususnya makna konotatif.mitos adalah
sebuah system ideology murni, dimana bentuk masih termotivasi oleh
konsep yang mereka wakili seme13ntara,
dengan jalan yang masih panjang, mere masih belum menalangi
kemungkinan representasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-buku:
- Syarif H. Maulana. 2007. Sejarah Dan Peranan NU Dalam Perolehan Suara PPP Pada Tahun 1973-1984 Di Kabupaten Pemalang, Semarang: Universitas Negeri Semarang.
- Roland Barthes (terj.) (1972). Mythologies. Jonathan Cape.
- Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera
- Sobur, Alex. 2006. semiotika media. Bandung: Rosda Karya
- Hoed, Benny H. 2011, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu
Internet:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Sidayu,_Gresik, 9 januari 2011.
- http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia, 9 januari 2011.
Ahmad hakim Jayli, Particular Sunnisme, Aswaja Ala Hadratus Syekh, http://ahmadhakimjayli.blogspot.com/2011/03/particular-sunnisme-aswaja-ala-hadratus.html, 9 Januari 2011
2
Alex Sobur, semiotika media (Bandung: Rosda Karya, 2006),
hlm. 63-64
3Benny
H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya(Depok:
Komunitas Bambu, 2011), Hlm. 10-11
4
Ibid., hlm. 12
5
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Indonesiatera,
2001), hlm. 67
6
Roland Barthes, diterjemahkan oleh Annete Lavers, Mythologies
(Jonathan Cape, 1972), hlm. 115
7
Ibid., hlm. 127
10
Maulana Syarif H.,
Sejarah
Dan Peranan NU Dalam Perolehan Suara PPP Pada Tahun 1973-1984 Di
Kabupaten Pemalang
(Universitas Negeri Semarang, 2007), hlm. 1
11 Ahmad hakim Jayli, Particular Sunnisme, Aswaja Ala Hadratus Syekh, http://ahmadhakimjayli.blogspot.com/2011/03/particular-sunnisme-aswaja-ala-hadratus.html, 9 Januari 2011
13
Roland Barthes, diterjemahkan oleh Annete Lavers, Mythologies
(Jonathan Cape, 1972), hlm. 126
download di:
http://www.scribd.com/doc/92054160?secret_password=20n6r32wrp16774asbqk
This entry was posted
at 5/02/2012 02:42:00 PM
and is filed under
Tugas Kuliah
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.